Najwa Shihab dan Anomali Media Sosial
Najwa Shihab menjadi buah bibir di media sosial setelah namanya viral di media sosial X (Twitter) beberapa waktu lalu. Hal ini diakibatkan oleh dirinya yang mendapatkan hujatan yang masif di media sosial TikTok. Hujatan ini berangkat dari pernyataan Najwa saat proses pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 di Narasi TV. Di mana dirinya menggunakan diksi "nebeng" kepada Mantan Presiden Joko Widodo yang pulang ke Solo dengan menggunakan pesawat TNI AU.
Pola hujatan kepada Najwa mengarahkan pada pembahasan yang irasional dan mengandung isu SARA. Seperti, Najwa yang dianggap sebagai orang Yaman, bukan asli orang Indonesia, hingga isu-isu primordial lainnya. Bahkan, yang menjadi miris, beredar video yang memperlihatkan buku karya Najwa yang dibakar hingga hangus. Yang menjadi lebih miris lagi, kolom komentar dipenuhi oleh dukungan terhadap tindakan pembakaran buku tersebut.
Hal ini merupakan permasalahan yang sangat serius. Tidak hanya dilihat sebagai tindakan pembakaran buku saja, tetapi juga merepresentasikan sebuah krisis fundamental pada bangsa Indonesia, yaitu krisis intelektualitas.
Pendidikan dan Media Sosial
Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk terbesar dunia. Walaupun begitu, hal ini tidak berkorelasi positif dengan kualitas dari penduduk yang dapat diukur dari Programme for International Student Assessment (PISA). PISA adalah riset dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk mengukur kualitas pendidikan dari negara-negara di dunia. Di mana Indonesia masih menempati posisi ke-66 dari 81 negara pada 2022.
Menurut Data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, hanya sekitar 6,68% dari jumlah penduduk di Indonesia yang lulus dari perkuliahan. Tentu, data ini merefleksikan bahwa masih cukup banyak –bahkan mayoritas– penduduk Indonesia yang tidak berpendidikan. Di lain sisi, sekitar 49,9% penduduk Indonesia menjadi pengguna aktif di media sosial, seperti Instagram, TikTok, WhatsApp, hingga X (Twitter). Data ini memperlihatkan disparitas dalam konteks tingkat pendidikan yang rendah dengan tingginya adopsi media sosial oleh penduduk Indonesia. Implikasinya, cukup banyak pengguna media sosial yang tidak bijak dalam memahami, menanggapi, dan merespons sebuah isu, terkhusus politik. Muncul irasionalitas dalam diri pengguna media sosial yang ditampilkan dalam praktik sosial yang salah, seperti berkomentar SARA dan membakar buku. Realitas sosial ini sesuai dengan analisis dari Mark Bauerlein dalam bukunya The Dumbest Generation How the Digital Age Stupefies Young Americans and Jeopardizes Our Future (2008). Menurutnya, akselerasi teknologi tidak selalu berbanding lurus dengan perubahan pengetahuan yang objektif.
Teknologi dapat menjadi instrumen yang membuat masyarakat menjadi bodoh akibat informasi yang palsu, tidak bernilai, dan konfrontatif. Sehingga melahirkan suatu kebodohan struktural pada masyarakat, terutama generasi muda, yang sudah menghilangkan nalar kritis dan objektif dalam melihat suatu fenomena. Apakah ini yang sedang terjadi di Indonesia?
Anomali Media Sosial
Buku merupakan jendela ilmu pengetahuan yang harus dibaca, dijaga, dan disimpan untuk generasi berikutnya. Apa jadinya apabila di negara ini terdapat generasi yang tidak mau membaca buku dan bahkan secara ekstrem membakar buku? Tentu, negara ini akan kehilangan masa depan dan berpotensi gagal untuk mewujudkan "Indonesia Emas". Oleh karena itu, perlu upaya serius untuk melakukan perubahan yang bersifat sistemik dari pemerintah dalam rangka membenahi krisis intelektualitas ini.
Dalam konteks historis, praktik membakar buku juga inheren dengan upaya untuk menghapus jejak pengetahuan dan sendi-sendi keilmuan dari seseorang atau kelompok. Hal ini terjadi pada pembakaran buku oleh Nazi, pembakaran buku dalam Kudeta Pinochet (Chile), hingga pembakaran buku dalam kampanye War on Terror (Irak).
Normalisasi terhadap tindakan pembakaran buku Najwa Shihab oleh pengguna media sosial TikTok adalah hal yang salah. Kritis terhadap seseorang tidak kemudian melegitimasi tindakannya untuk melakukan pembakaran terhadap karya-karyanya. Media sosial hadir sebagai ruang publik yang inklusif dan menjadi titik temu untuk berdialog terhadap seluruh isu. Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk meningkatkan literasi digital kepada masyarakat agar bijak dalam berperilaku di media sosial.
Pengguna media sosial dari seluruh platform juga harus lebih bijak dalam merespons isu. Sebab, fenomena buzzer dan influencer dalam beberapa tahun ini yang mengadu domba masyarakat adalah salah satu variabel utama dalam rusaknya demokrasi. Sinan Aral dalam bukunya The Hype Machine How Social Media Disrupts Our Elections, Our Economy, and Our Health – and How We Must Adapt (2020) menjelaskan bahwa buzzer merupakan kelompok yang mengontrol algoritma media sosial untuk menggiring dan memanipulasi isu.
Implikasinya, masyarakat merasa isu yang tampil di algoritma media sosial adalah kebenaran objektif. Dalam konteks ini, kasus Najwa Shihab juga menjadi isu yang coba dimainkan oleh buzzer dan influencer di TikTok. Sehingga muncul hujatan dengan narasi negatif yang masuk ke dalam isu SARA hingga tindakan pembakaran buku. Najwa Shihab adalah korban dari krisis intelektualitas yang dapat dilihat dari ketidakbijaksanaan pengguna media sosial dalam berkomentar dan bertindak.
Jika Najwa Shihab dengan segala reputasi dan kredibilitasnya dapat menjadi korban, maka kita sebagai masyarakat ‘biasa’ pun juga bisa. Mari bijak dalam bermedia sosial.
Rafi Aufa Mawardi asisten dosen dan peneliti di Departemen Sosiologi Universitas Airlangga