Nasib Demokrasi Kita, Renungan atas Peringatan Peristiwa Malari

Nasib Demokrasi Kita, Renungan atas Peringatan Peristiwa Malari

HARI ini, agak sulit untuk memproyeksikan nasib demokrasi kita ke depan. Kekuatan-kekuatan yang semestinya sangat diharapkan bisa menjadi penjaga demokrasi, pelan-pelan memudar dan memilih untuk bersikap oportunistik terhadap demokrasi, terutama kekuatan-kekuatan yang berada pada barisan Civil Society dan infrastruktur politik resmi yang bertugas memberikan counter balance terhadap kekuasaan.

Pada era sepuluh tahun masa pemerintahan Jokowi, kekuatan masyarakat sipil secara perlahan terpecah belah.

Sebagian mulai tak terdengar suaranya, sebagian lagi terserap ke dalam kekuasaan dan justru merasa nyaman aman berada di sana, tanpa sejenakpun berniat untuk mengingat kembali betapa pentingnya posisi mereka sebagai kakuatan masyarakat sipil di waktu-waktu sebelumnya.

Bahkan, belakangan mulai muncul pertanyaan konyol, apakah Indonesia masih memerlukan demokrasi?

Cukup miris memang mendengar atau membaca pertanyaan ini, mengingat jarak antara hari ini dan lahirnya gerakan Reformasi yang digawangi oleh para dedengkot masyarakat sipil kita tempo hari tidak terlalu jauh, belum sampai 30 tahun. Namun, ingatan Reformasi tersebut sudah mulai terasa tidak berguna sekaligus pudar.

Di level internasional, harus diakui bahwa tendensi peningkatan popularitas pemerintahan otokratis memang sedang terjadi.

Sehingga imbasnya secara geopolitis, pengaruh negara-negara otokratis terhadap negara-negara yang menjadi mitranya juga semakin meningkat di satu sisi dan harapan negara-negara berkembang lainnya terhadap demokrasi juga ikut terkikis di sisi lain.

Tak bisa dipungkiri bahwa pengaruh negara China, Singapura, bahkan Rusia, semakin besar terhadap penentuan kiblat masa depan negara-negara berkembang, tidak terlepas Indonesia.

Terutama negara seperti China, yang mampu memberikan begitu banyak insentif ekonomi kepada negara mitra dagangnya, agar negara-negara mitra tersebut secara perlahan memakai platform kebijakan yang mirip dengan negara Tirai Bambu itu.

Tanpa sadar, model relasi dengan China ini ikut memengaruhi bagaimana negara mitranya bertindak dan bersikap.

Dalam riset dan buku yang ditulis oleh Richard W Carney (2024), “China’s Chance to Lead. Acquaring global influence via infrastructur development and digitalisation”, ditemukan bahwa China memang lebih banyak berinvestasi di negara-negara yang berkategori otokratis.

Di Timur Tengah, misalnya, investasi China terbilang paling besar di negara seperti Uni Emirat Arab yang otokratis, juga Iran dan Saudi Arabia.

Di Afrika, rata-rata negara penerima investasi infrastruktur dan digital China juga sama. Negara seperti Kenya atau Kongo terbilang sebagai negara penerima investasi China dalam jumlah tinggi.

Atau negara yang tingkat demokrasinya terbilang setara dengan Indonesia, seperti Afrika Selatan dan Djibouti, juga termasuk penerima tertinggi.

Walhasil, di negara-negara tersebut kekuatan oposisi juga terkungkung tak jelas juntrungannya, meskipun labelnya masih demokratis.

Sementara di Asia, Pakistan, Srilangka, dan Malaysia, sampai tahun 2020 lalu, masih terbilang yang terbesar menerima investasi dari China.

Tidak semuanya bisa dikatakan berhasil di satu sisi (utang Srilangka kepada China, misalnya, membuat politik di negara tersebut semrawut) dan tidak semuanya masuk kategori negara demokrasi yang sehat.

Indonesia termasuk salah satunya, walaupun hingga tahun 2020 lalu, Indonesia masih kalah oleh Malaysia dari sisi jumlah investasi China (Carney, 2024).

Sebenarnya China pun tidak terlalu mengutamakan model dan sistem politik negara yang menjadi destinasi investasinya, karena karakter dan gaya politik luar negeri China adalah nonintervensi.

Namun secara historis, China punya kecenderungan untuk tetap menjalankan gaya politik luar negeri ala zaman imperium-imperium China sebelumnya, yakni Tributary System (sistem Upeti), yang membuat negara mitranya pelan-pelan “leaning” ke China dalam banyak hal.

Memang saat ini terlihat bahwa yang dibutuhkan oleh China adalah resiprositas, kepastian pengembalian investasi, atau keberadaan SDA yang dibutuhkan oleh China (Carney, 2024).

Namun faktanya, kata Carney, karena kebanyakan negara di dunia mengalami market failure di sektor infrastruktur, maka secara tidak langsung banyak negara yang kemudian menyesuaikan platform politiknya agar bisa mendapatkan investasi dari China, termasuk menjadi negara yang tidak lagi independen dalam sikap geopolitiknya, karena harus menoleransi beberapa isu terkait dengan kepentingan China.

Sementara itu, para aras domestik, seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini, juga terjadi pelemahan-pelemahan secara gradual atas infrastruktur-infrastruktur demokrasi.

Baik dari sisi masyarakat sipil, termasuk di dalamnya media dan dunia kampus, maupun dari sisi infrastruktur counter balance resmi yang menjadi bagian dari pemerintahan nasional.

Pada aras masyarakat sipil, media hari ini, misalnya, selain kesulitan keuangan untuk terus eksis di kancah ruang publik, lokal maupun nasional, juga perannya semakin terpinggirkan di satu sisi dan semakin terfragmentasi berdasarkan kepentingan politik yang ada di sisi lain.

Tentu secara teknis tak ada masalah dengan pembelahan politik di dunia media, di Amerika Serikat pun hal itu sudah terjadi.

Cuma masalahnya, di Amerika Serikat, ada perimbangan kekuatan media antara konservatif dan liberal.

Ada CNN dan Fox News yang mewakili keduanya, misalnya, tentu beserta media-media setara lainnya yang berada di barisan yang sama dengan mereka, sehingga di tataran media pun terjadi check and balances dan perimbangan kekuatan.

Namun, di Indonesia tidaklah demikian adanya. Karena kecenderungan elite-elite untuk menjilat dan menempel kepada kekuasaan, maka media-media yang telah mereka “politisasi” juga mengikuti kecenderungan itu.

Walhasil, lebih banyak media yang menjadi infrastruktur politik kekuasaan ketimbang menjadi “counter balance” kekuasaan, dengan alasan-alasan mereka masing-masing tentunya.

Apalagi perguruan tinggi, di mana para agent of change seharusnya dipupuk dan dibesarkan. Kondisinya juga tak berbeda.

Mahasiswa hari ini lebih takut untuk berbicara kritis, karena tembok politiknya sudah sampai ke gedung dekan dan rektor, bahkan ketua jurusan, di mana para pengabdi kuasa bercokol.

Gerakan mahasiswa acapkali mentah kembali saat berhadapan dengan birokrasi kampus yang lebih memilih membentengi kepentingan Istana ketimbang mendukung aspirasi anak didiknya, bahkan kepentingan rakyat banyak.

Nah, jika pada tataran masyarakat sipil begitu, lembaga counter balance resmi yang menjadi bagian dari pemerintahan pun tak lebih baik nasibnya.

Sebut saja parlemen, misalnya, yang kian hari kian menjadi kompak dengan eksekutif dalam hampir semua hal.

Pada lembaga inilah kekuatan kontranaratif atas kebijakan dan tindakan pemerintah semestinya dilahirkan partama kali, sebelum dilahirkan oleh masyarakat sipil. Namun, faktanya juga jauh dari harapan.

Parlemen, DPR/MPR, lebih senang berkawan mesra dengan kekuasaan dan memilih untuk semakin menyudutkan kekuatan-kekuatan oposisionis yang ada di dalam lembaganya.

Begitu pula dengan lembaga seperti KPK, yang semakin hari semakin terpolitisisasi dengan tujuan-tujuan yang mulai sangat spesifik, yakni menjalankan dan memuaskan kepentingan politik jangka pendek penguasa dan para elite tertentu.

Walhasil, KPK akhirnya sudah tidak mampu lagi menggambarkan dirinya sebagai institusi yang lahir dari rahim Reformasi, karena sudah tak lagi bertindak untuk menjaga cita-cita Reformasi sebagaimana yang diharapkan.

Jadi pendeknya, semakin defisitnya demokrasi kita nyatanya digelorakan dari berbagai sisi, mulai dari ranah domestik, lokal dan nasional, sampai kepada ranah global, yang kemudian membuat pertanyaan konyol di atas lahir.

Apakah Indonesia masih butuh demokrasi? Dari jawaban resmi para pihak, mulai dari elite sampai intelektual dan aktifis, tentu masih perlu.

Namun lagi-lagi kembali kepada fakta psiko-sosiologis orang Indonesia sebagaimana pernah digambarkan oleh Mochtar Lubis, yakni hipokrit, maka yang terjadi di lapangan sebenarnya adalah sebaliknya. Tak ada yang benar-benar “concern” dan peduli dengan jawaban pertanyaan tersebut.

Sejatinya, pertanyaan ini kembali saya dengar pada 15 Januari, bertepatan dengan peringatan hari Gerakan Malari 1974, yang menjadi titik tolak semakin otoriternya pemerintahan Orde Baru saat itu.

Lalu mulai saya renungkan esensi dan substansi pertanyaan tersebut. Dan sayangnya, renungan tersebut semakin terasa tidak berguna, karena fakta-fakta pendukungnya sudah nyaris pudar.

Apalagi peringatan hari Malari berlangsung senyap, tak ada pemberitaan yang representatif yang meng-cover-nya, tak ada narasi-narasi memorial yang dilahirkan oleh media dan intelektual yang bisa menggugah semangat kita untuk kembali berkaca kepada masa lalu agar bisa lebih hati-hati di masa depan. Cukup menyedihkan, tapi demikianlah faktanya.

Saya sangat memahami bagaimana perasaan tokoh Malari Dr. Hariman Siregar melihat perkembangan yang terjadi belakangan, meskipun beliau tetap bersemangat mengadakan peringatan peristiwa Malari setiap tahun.

Setelah terpantau sangat bahagia menyambut datangnya Reformasi 27 tahunan lalu, saat ini justru ikut kembali menyaksikan bagaimana gerakan tersebut susut perlahan, melemah, bahkan terlihat sangat rentan patah, jika disentil sedikit saja oleh kekuasaan yang kian hari kian manipulatif.

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin menyampaikan pesan khusus kepada beliau. “Abangnda Dr Hariman Siregar, semoga api semangat terkait Demokrasi dan Negara yang benar yang Anda gaungkan setiap tahun dengan menggelar peringatan Hari Malari, tidak keburu redup karena jarak peristiwa yang semakin jauh dan generasi muda yg semakin tidak peduli pada sejarah dan sikap kritis."

Sumber