Netanyahu: Israel Berhak Lanjutkan Perang jika Gencatan Senjata Gagal
TEL AVIV, KOMPAS.com– Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa Israel berhak melanjutkan perang jika gencatan senjata gagal.
“Jika kita harus kembali bertempur, kita akan melakukannya dengan cara baru yang lebih kuat,” katanya.
Meskipun kesepakatan telah tercapai, di lapangan, serangan udara Israel tetap dilakukan, menargetkan pejuang Hamas dan Jihad Islam.
Kabinet Israel menyetujui perjanjian gencatan senjata dengan Hamas pada Sabtu (18/1/2025), yang bertujuan mengakhiri konflik 15 bulan yang telah menghancurkan Gaza, menewaskan puluhan ribu warga Palestina, dan mengguncang stabilitas kawasan.
Namun, sebelum gencatan senjata dimulai pada pukul 06.30 GMT hari Minggu (19/1/2025), serangan Israel di Gaza tetap berlanjut.
Kesepakatan tiga tahap ini mencakup pembebasan puluhan sandera Israel yang ditahan Hamas sebagai imbalan bagi hampir 2.000 tahanan Palestina di penjara Israel.
Tahap pertama akan berlangsung selama enam minggu, dengan 33 sandera, termasuk perempuan dan anak-anak, diperkirakan akan dibebaskan.
Dilansir Reuters, Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan 123 kematian di Gaza sejak pengumuman gencatan senjata, sehingga total korban tewas mencapai hampir 47.000 sejak konflik dimulai.
Di Tel Aviv, jam hitung mundur yang menunjukkan waktu sejak sandera ditahan menjadi simbol tuntutan publik untuk pembebasan mereka.
Protes dan aksi doa, termasuk peringatan ulang tahun kedua Kfir Bibas, sandera termuda, menyoroti dampak emosional krisis ini.
Kesepakatan tersebut menghadapi penolakan dari sejumlah menteri dalam koalisi Netanyahu. Menteri sayap kanan, termasuk Menteri Polisi Itamar Ben-Gvir, menolak pertukaran tahanan dan mengancam akan mengundurkan diri.
Konflik ini telah memperburuk ketegangan di Timur Tengah, dengan Hizbullah di Lebanon dan kelompok Houthi yang didukung Iran di Yaman terlibat dalam serangan terhadap Israel.
Serangan rudal dari Yaman dan serangan balasan udara Israel menambah kompleksitas situasi.
Gencatan senjata yang dimediasi dengan dukungan AS ini menjadi langkah rapuh menuju de-eskalasi. Namun, keraguan tetap ada, dengan kedua pihak bersiap menghadapi kemungkinan konflik lebih lanjut.