OPINI : Tax Amnesty Sekali Lagi

OPINI : Tax Amnesty Sekali Lagi

Bisnis.com, JAKARTA - Gaung peng­am­­punan pa­­­jak jilid tiga tiba-tiba mengemuka dan riuh di perbincangkan saat ini. Penyebabnya RUU tentang Perubahan atas Undang-Un­­dang Nomor 11/2016 tentang Pengampunan Pajak alias tax amnesty masuk ke dalam Prog­­ram Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025.

Pengampunan pajak secara umum dapat diartikan se­­ba­­gai penghapusan pokok pajak, sanksi administrasi, dan pidana pajak yang di­­se­­babkan ketidakpatuhan pembayar pajak dimasa lalu.

Biasanya program pelaksana­an tax amnesty dilakukan dalam kurun wak­tu dua bu­­­lan sampai dengan satu ta­­­hun. Ber­cermin pada pengampunan pajak 2016, kurun waktu pelaksanaan pengampunan pajak mencapai sembilan bulan.

Jika kita menelisik sejarah pengampunan pajak di Indonesia telah dilakukan be­­berapa kali dengan berbagai istilah, seperti pemutihan pajak, sunset policy, pengampunan pajak, program pengungkapan sukarela (PPS). Se­­jauh ini penulis mencatat pengampunan pajak telah ber­­­langsung lima kali, yakni 1964, 1984, 2008, 2016 dan 2022.

Rencana pengampunan pa­­­jak jilid tiga ini akan bergulir selaras dengan pernyataan Ke­­­tua Komisi XI DPR RI, Mis­­ba­­khun mengatakan bahwa dengan hadirnya RUU tersebut, kemungkinan besar program tax amnesty Jilid III akan kembali digelar oleh pemerintah setelah UU-nya selesai dibahas.

Jadi kemungkinan bentuk dari program pengampunan pa­­­jak jilid tiga yang akan di­­­­­­se­­­leng­­­garakan dengan me­­­­­re­­visi Undang-Undang No­­­­­­mor 11/2016 tentang Peng­­ampunan Pajak. Namun un­­tuk jelasnya dan rincian apa saja yang direvisi belum dapat diprediksi saat ini.

Tapi secara umum model yang akan diterapkan nampaknya akan mirip dengan yang ada di UU Nomor 11/2016 tentang pengampunan pajak dan banyak digunakan oleh otoritas pajak di taraf internasional, dengan istilah voluntary disclosure programme (VDP). Dalam program ini wajib pajak me­­­miliki kesempatan untuk mengungkapkan harta dan penghasilanya secara sukarela, tetapi te­­tap dalam garis ketentuan umum kepatuhan dan penegakan hukum dibidang perpajakan.

Program pengampunan pa­­­jak cukup efektif dalam mengumpulkan penerimaan pa­­jak, pada pengampunan pajak 2016 dapat di­­kum­­­pulkan Rp 130 triliun. Sedangkan program pengungkapan sukarela (PPS) 2022 mencapai Rp 61,1 triliun. Jadi program pengampunan pajak adalah program yang mumpuni ditinjau dari perspekstif penerimaan pajak.

Namun hendaknya program pengampunan pajak 2025 ini perlu lebih kreatif dan inovatif serta mengandung ke­­­baruan sehingga mampu menarik wajib pajak untuk mengikuti program pengampunan pajak ini.

Beberapa pendapat dari pe­­­merhati perpajakan tidak setuju dengan diadakan program pengampunan pajak 2025 ini karena tenggang waktu terlalu cepat de­­ngan pengampunan pajak ditahun tahun sebelumnya. Pengampunan pajak yang terlalu sering dilakukan juga dapat memberikan efek yang tak baik bagi wajib pajak karena mendapatkan pengampunan tanpa perlu memikirkan aspek kepatuh­­an pajak. Apakah pendapat seperti ini beralasan? Di­­­per­­­lukan kajian mendalam un­­­tuk membuktikan hal tersebut.

Berkali-Kali

Dalam prakteknya, banyak negara di dunia yang melakukan pengampunan pajak berkali-kali, seperti Amerika Serikat lebih dari 18 kali di 41 negara bagian, dalam kurun waktu 30 tahun. Afrika Selatan memberlakukan tiga kali pengampunan pajak, yakni 1995, 2003, dan 2006. India 12 kali melakukan pengampunan pajak sejak 1951 sampai 2016. Turki bahkan 29 kali melakukan pengampunan pajak, selama kurun 1924 sampai 2016.

Jika kita mengkalkulasi dari data tersebut, tenggang waktu rata-rata setiap 1,88 tahun dilakukan sekali pengampunan pajak. Di Afrika Selatan jarak tekahir hanya tiga tahun, yakni 2003 dan 2006. Di India rata-rata setiap 4,4 tahun dilakukan sekali pengampunan pajak. Sementara di Turki rata-rata tenggang waktunya 2,8 tahun sekali dilakukan pengampunan pajak.

Jika pengampunan pajak 2025 jadi dilaksanakan, berjarak 3 tahun dari program PPS (program pengungkapan sukarela) yang terjadi di 2022. Tenggang waktu pengampunan pajak saat ini jika dibanding dengan negara-negara diatas tidaklah terlalu cepat.

Sejumlah penelitian juga menunjukan pengampunan pajak justru berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Dalam hal ini, pengampunan pajak justru sangat baik untuk pembinaan bagi wajib pajak dalam mentaati aturan perpajakan kedepan. Dengan demikian argumentasi bahwa program pengampunan pajak dapat membuat wajib pajak menjadi tidak patuh menjadi terbantahkan.

Berangkat dari penilitian dan pemikiran ini maka kebijakan pengampunan pajak merupakan strategi yang jituh dan sejalan dengan teori economic analysis of law, yaitu maksimalisasi, kesimbangan, dan efisiensi. Kebijakan pengampunan pajak 2025 merupakan solusi yang menguntungkan bagi semua pihak.

Selain itu jika terjadi perubahan atas Undang-Undang Nomor 11/2016 tentang Pengampunan Pajak akan memberikan dampak positif buat masyakat hal ini sesuai dengan tujuan hukum yang dikemukan oleh Jeremy Bentham seorang ahli hukum abad 19 dalam bukunya In­­­troduction to the moral and legislation, yang berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah bagi manusia akan bermanfaat bagi masyakarakat. Semoga pengampunan pajak 2025 bisa diwujudkan.

Sumber