Opini: Menatap Optimistis Penerimaan Pajak 2025
Bisnis.com, JAKARTA - Dalam hitungan hari kita akan memasuki tahun 2025. Kondisi perekonomian global diliputi dengan ketidakpastian dan penurunan, IMF memprediksi tumbuh di kisaran 2,7%—3,3% (YoY) sebagaimana siaran pers Kemenko Perekonomian per 5 Agustus 2024.
Namun, sejumlah lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (World Bank), Asian Development Bank (ADB) hingga Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5%—5,2% untuk tahun 2024 dan 2025. (Bisnis Indonesia, 11 Oktober 2024).
Sementara Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu tumbuh di angka 5,1% pada akhir tahun ini, sejalan dengan mulainya pemangkasan suku bunga atau BI Rate dari 6,25% menjadi 6%.
Dalam publikasi Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok kebijakan Fiskal 2025, perekonomian nasional diperkirakan tumbuh kuat pada 2025. Laju perekonomian diharapkan tumbuh di kisaran 5,1%—5,5%, yang utamanya ditopang oleh konvergensi aktivitas perekonomian regional serta kebijakan fiskal yang mendukung akselerasi transformasi ekonomi nasional.
Dalam APBN 2024 telah mencanangkan target pertumbuhan ekonomi 5,2%, begitu juga APBN 2025 tetap di angka 5,2%, dengan inflasi di kisaran 1,5%—3,5%.
Berdasarkan analisis Bank Indonesia yang dipublikasi pada November 2024, BI meyakini inflasi akan tetap terkendali dalam kisaran sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025. Sementara kinerja neraca pembayaran Indonesia pada triwulan III/2024 membaik, yang mencatat surplus US$5,9 miliar dari sebelumnya defisit US$0,6 miliar.
Proyeksi nilai tukar untuk 2025 menurut BI antara Rp15.300—Rp15.700 per dolar AS, sementara proyeksi pemerintah seperti tercantum dalam RAPBN 2025 adalah Rp16.100 per dolar AS.
Penerimaan perpajakan dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal yang memengaruhi penerimaan perpajakan suatu negara antara lain pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, harga minyak internasional, produksi minyak mentah, dan tingkat suku bunga.
Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak dan sebaliknya. Pertumbuhan ekonomi mengindikasikan perubahan dalam pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pemerataan pendapatan, menyebabkan penerimaan pajak akan bertambah karena ada perubahan jumlah pembayar pajak serta meningkatnya kelompok pembayar pajak pada tarif yang lebih tinggi seiring dengan kenaikan pendapatan terutama terjadi pada pajak dengan tarif progresif.
Sedangkan faktor internal yang memengaruhi penerimaan pajak adalah tarif pajak, besaran threshold PTKP, batasan penghasilan untuk dikukuhkan sebagai PKP untuk pengenaan PPN, tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan, kepatuhan sukarela serta produktivitas pegawai pajak.
Untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan, pemerintah Indonesia telah mengadakan reformasi perpajakan. Reformasi perpajakan saat ini sudah memasuki jilid yang ketiga sejak pertama kali digulirkan tahun 1984. Dalam reformasi jilid III telah ditetapkan lima pilar reformasi perpajakan untuk mencapai voluntary compliance. Lima pilar tersebut adalah.
Pertama, Pilar Organisasi, berupa struktur organisasi yang ideal (best fit). Upaya perbaikan diharapkan dapat menghasilkan output yang dapat diandalkan dalam setiap pengambilan keputusan DJP ke depan, terutama terkait penyusunan strategi untuk mengumpulkan penerimaan negara.
Kedua, Pilar Sumber Daya Manusia (SDM), meliputi professional, kompeten, kredibel dan berintegritas. Pengembangan SDM menjadi kunci penting untuk meningkatkan kepercayaan publik dan memperbaiki iklim investasi
Ketiga, Pilar Teknologi Informasi berbasis Data, menciptakan teknologi informasi dan basis data yang reliable dan andal.
Keempat, Pilar Proses Bisnis, menciptakan proses bisnis yang sederhana, efektif, efisien, akuntabel, berbasis IT, dan komprehensif. Direktorat Jenderal Pajak melakukan proses pembaruan sistem inti administrasi perpajakan atau core tax system dengan tujuan memperoleh penerimaan pajak yang reliable
Kelima, Pilar Peraturan (Regulasi), menghasilkan kepastian hukum, menampung dinamika perekonomian, mengurangi biaya kepatuhan, memperluas basis perpajakan, dan meningkatkan penerimaan pajak.
Tujuan utama reformasi perpajakan adalah meningkatkan kepatuhan sukarela yang tinggi, kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi, dan produktivitas perpajakan yang tinggi yang pada akhirnya menegakkan kemandirian ekonomi dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih mengerahkan kemampuan sendiri.
Realisasi APBN sampai dengan 30 November 2024 mencatatkan pendapatan negara Rp2.492,70 triliun, 88,95% dari target atau tumbuh 1,29% (YoY). Realisasi tersebut terdiri atas penerimaan perpajakan Rp1.946,68 triliun, 84,28% dari target, atau tumbuh 1,66%. Capaian tersebut terdiri atas Penerimaan Pajak Rp1.688,93 triliun, 84,92% dari target atau tumbuh 1,14% serta penerimaan Kepabeanan dan Cukai Rp257,75 triliun, 80,30% dari target atau tumbuh 5,20% (yoy). Jika dirata-rata kinerja penerimaan pajak selama 11 bulan maka capai per bulan adalah Rp153,54 triliun.
Jika tambahan yang mampu dicapai pada Desember 2024 adalah Rp153,54 triliun, maka diperkirakan Penerimaan Pajak 2024 sebesar Rp1.842,47 triliun atau sekitar 92,63% suatu capaian yang dapat dikatakan sangat bagus jika ini terjadi ditengah gonjang-ganjing perekonomian global yang menurun.
Pendapatan Negara dalam APBN TA 2025 dianggarkan sebesar Rp3.005,1 triliun, yang bersumber dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp513,6 triliun.
Target penerimaan pajak 2025 yang meningkat 7,83% dari target tahun 2024 bukannya tanpa alasan, target tersebut telah memperhitungkan berbagai faktor termasuk kapasitas ekonomi, iklim investasi, dan daya saing usaha dalam menakar basis perpajakan.
Bila dilihat faktor eksternal bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi akan berada di kisaran 5%—5,2% serta faktor internal berupa kenaikan tarif PPN dan perbaikan administrasi perpajakan (penerapan coretax system) maka target penerimaan pajak optimistis akan dapat dicapai lebih baik dari tahun 2024.
Terlebih penerapan lima pilar reformasi ini sudah berproses sejak beberapa tahun belakangan secara berkesinambungan, khususnya tahun 2025 nanti akan diimplementasikan core tax system yang merupakan tools yang “ampuh” yang diharapkan dapat mempermudah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan pajak.
Tax ratio adalah ukuran kinerja penerimaan pajak yang dapat dihimpun oleh suatu negara yaitu membandingkan penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto.
Tax ratio Indonesia yang dihitung secara triwulan rata-rata adalah 9,8% dari bulan Maret 2014 sampai dengan September 2024 dengan 43 observasi. Tax Ratio pada September 2024 dilaporkan mencapai 9,5% dengan All time High 15% di Desember 2015 dan terendah terjadi pada September 2020 yaitu sebesar 6,9% .
Dengan Tax Ratio yang dinilai masih rendah, pemerintah dihadapkan kerja keras untuk meningkatkan pungutan pajak secara bertahap dengan perbaikan administrasi perpajakan berbasis IT dan Data dengan implementasi Core tax system, perbaikan regulasi, meningkatkan profesionalitas dan integritas pegawai pajak.
Berdasarkan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 Tax Ratio yang ditargetkan untuk tahun 2025 berada dikisaran 10,09%- 10,29% menurut penulis merupakan target yang menantang dan cukup realistis.
Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tentu akan meningkatkan penerimaan PPN sebagaimana tecermin dalam target penerimaan perpajakan 2025. Pemerintah dalam posisi yang sulit menghadapi protes masyarakat atas kenaikan PPN ini, dilain pihak kenaikan ini sudah merupakan amanah dari UU No. 8/1983 Tentang PPN dan PPNBM sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang memang harus dijalankan pemerintah.
Untuk merespons keadaan ini nampaknya Pemerintah memilih tetap untuk menjalankan kenaikan tarif PPN menjadi 12%, tetapi rencananya memberikan fasilitas PPN ditanggung Pemerintah 1% untuk kelompok barang tertentu. Jika ketentuan ini dijalankan tentu akan berdampak menambah kerumitan administrasi perpajakan bagi pengusaha, karena akan membuat dua faktur pajak untuk satu transaksi, karena ada yang ditanggung pemerintah.
Penggalian potensi pendapatan PPN juga dapat diperoleh dari transaksi (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) PMSE. Potensi ini diharapkan dapat berjalan dengan optimal lewat terbitnya perbaikan regulasi terkait, serta upaya ekstra mengejar potensi ini, mengingat transaksi PMSE bersifat cross border yang pelaku usahanya tidak berada di yurisdiksi Indonesia namun memanfaatkan pasar indonesia.
Rencana kebijakan perpanjangan PPh Final 0,5% untuk Penghasilan Bruto tertentu (UMKM) diharapkan tetap dapat memberikan insentif kepada pengusaha kecil untuk bisa berkembang yang akan berdampak meningkatnya kesejahteraan kelompok pelaku UMKM.
Wacana dari IMF untuk menurunkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), batasan jumlah untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk memungut PPN, ataupun batasan omzet yang dapat menggunakan PPh final 0,5% bagi UMKM tentu akan dapat meningkatan penerimaan pajak dan tax ratio, tetapi perlu dikaji secara mendalam mengenai dampak tersebut. Mengkaji secara komprehensif, tidak hanya aspek ekonomi dan yuridis tetapi juga aspek sosiologis dan politis, mengingat tekanan masyarakat untuk menolak cukup menguat.
Mengenai sinyalemen bahwa akan ada amnesti pajak dengan adanya amandemen UU Pengampunan Pajak yang RUU nya masuk di Prolegnas atas usulan DPR, pemerintah harus berhati-hati dengan dampak yang ditimbulkan yaitu ketidakpercayaan masyarakat wajib pajak (WP) yang mulai terpaksa patuh, bahkan dapat berdampak moral hazard, karena berpikir tidak apa-apa untuk “menyeleweng” nanti akan ada lagi pengampunan.
Begitu seterusnya karena amnesti pajak ternyata dapat terjadi berkali kali terjadi dalam waktu yang relatif singkat, sementara kampanye pemerintah dulu bahwa WP disarankan untuk ikut amnesti pajak, karena amnesti terjadi hanya satu kali, dan jika berulang akan terjadi pada rentang waktu yang lama, puluhan tahun.
Sistem perpajakan di Indonesia yang menganut sistem self assesment dan kita ketahui bahwa peraturan perpajakan sangat dinamis terus berubah, sebaran dari aturan pajak yang sederhana sampai paling rumit, keadaan ini tidak dapat dimungkiri bahwa WP dan pemerintah membutuhkan kehadiran konsultan pajak.
Konsultan pajak sudah sangat jamak di banyak negara, bahkan di Jepang profesi konsultan pajak diatur dalam undang-undang. Peranan konsultan pajak adalah selain sebagai advisor bagi WP, adalah sebagai intermediary manakalah terjadi perbedaan pemahaman atas suatu aturan antara WP dan fiskus dalam suatu pemeriksaan pajak.
Peran konsultan pajak juga dapat sebagai mitra pemerintah dalam mengedukasi, menyosialisasikan kebijakan dan aturan perpajakan yang terus berubah kepada masyarakat. Namun, konsultan pajak juga dapat mewakili WP dalam membela hak WP sesuai ketentuan dan peraturan perundang-undangan dalam suatu sengketa perpajakan.
Berdasarkan data-data capaian penerimaan pajak 84,92% sampai dengan November 2024, tampaknya target penerimaan pajak tahun ini tidak akan mencapai target 100% sebagaimana yang diharapkan, di estimasi akan mencapai di kisaran 85%—92%.
Berbagai isu perpajakan yang akan dan sedang muncul, penulis berpendapat sejauh ini pemerintah akan mampu menangani dengan baik dengan bijak mempertimbangkan banyak aspek.
Bagaimana dengan prediksi capaian penerimaan pajak 2025? Meski situasi perekonomian global diprediksi cenderung mengalami penurunan, kita harus optimis bahwa target penerimaan perpajakan 2025 dapat dicapai lebih baik dari 2024. maka akan diperlukan upaya keras dari DJP untuk dapat merealisasikan apa yang ditargetkan pada 2025.
Perbaikan sistem administrasi dengan coretax system diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak, demikian kenaikan PPN menjadi 12% diharapkan dapat memberikan kontribusi meningkatkan penerimaan pajak. Target penerimaan pajak akan secara moderat dapat dicapai 85% dan skenario optimis dapat dicapai di kisaran 90%—95%. Kita tetap harus optimis di tengah ketidakpastian ekonomi global, negara tetangga dapat mencapai tax ratio diatas 10%, kenapa kita tidak?