OPINI: Pajak Kekayaan, Perlukah?
Bisnis.com, JAKARTA - Akhir September lalu, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menerbitkan laporan berjudul Laporan Ke tim pangan Ekonomi Indonesia Pesawat Jet untuk si Kaya, Sepeda untuk si Mis kin” (Askar et. al., 2024) (La -por an CELIOS).
Ada yang menarik untuk dianalisis lebih lanjut terkait penyebutan Pajak Kekayaan di Laporan CELIOS. Pertama, potensi pajak kekayaan tahunan yang diambil 2% dari kekayaan Menteri Kabinet Joko Widodo periode kedua pada 2024 dapat mencapai Rp490,35 miliar/tahun (hal. 3).
Angka itu sedikitnya dapat membangun 2.053 rumah subsidi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dengan kualitas terbaik seharga Rp240 juta. Kedua, Pajak Kekayaan 50 triliuner teratas setara dengan 2,45% APBN Indonesia 2024, dan 4,11% dari Target Penerimaan Pajak 2024 (hal. 9).
Ketiga, satu dari dua triliuner dalam 50 orang terka-ya memiliki bisnis di industri ekstraktif. Potensi sumbang-an dari pajak kekayaannya sebesar 2,3 kuadriliun (hal. 16). Keempat, pajak kekayaan dari sektor ekstraktif pada daftar 50 triliuner terkaya dapat menyubsidi kerugian akibat konflik agraria untuk 13 juta rumah tangga.
Ketika disebut pajak kekayaan di laporan CELIOS terse-but, acuannya harus undang-undang (UU). Nomenklatur “pajak kekayaan” tidak disebut secara khusus di UU Perpajakan. Selain itu, pengenaan pajak kekayaan atas crazy rich yang disebut di rilis Forbes yang menjadi rujukan dalam laporan CELIOS, tidak secara otom-tis dapat dilakukan.
Pemungutan pajak apapun di Indonesia harus berdasarkan undang-undang. Hal ini sudah diamanatkan di Pasal 23A UUD 1945. Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Saat ini, basis pemajakan berdasarkan UU pajak di Indonesia tidak terlepas dari persamaan Penghasilan= Konsumsi+Tambahan Harta. Contoh dari basis pajak beru-pa penghasilan adalah PPh/Pajak Penghasilan. Aturannya mengacu ke UU No.7/1983 dan perubahannya.
Contoh dari basis pajak berupa konsumsi adalah PPN/Pajak Pertambahan Nilai. Rujukan aturannya adalah UU No.8/1983 dan perubahannya. Ada beberapa contoh dari basis pajak berupa net wealth atau kekayaan. Pertama, pajak atas kepemilikan harta, yaitu PBB (Pajak Bumi & Bangunan) dan PKB (Pajak Kendaraan Bermotor). Kedua, pajak atas transak-si kekayaan, yaitu BBN KB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) dan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan).
Ketiga, pajak atas transaksi harta yang dikelompokkan ke dalam PPh, yaitu PPh atas pengalihan harta, termasuk hak atas tanah/bangunan dan pengalihan saham.Jika dilihat data Forbes dan laporan CELIOS, acuannya adalah informasi kepemilikan saham dan keuangan yang diperoleh dari keluarga dan individu, bursa saham, laporan tahunan, dan analis. Dengan kata lain, kekayaan dari saham tersebut tidak muncul dari transaksi peng-alihan harta.
Seperti dikutip dari laman Forbes yang diru-juk CELIOS, penilaian keka-yaan yang berasal dari saham perusahaan swasta mengacu pada harga saham perusahaan serupa yang diperdagangkan secara publik. Kekayaan publik itu dihitung berdasarkan harga saham dan nilai tukar per 17 November 2023.
Perlukah pajak kekayaan? Jika dilihat metode Forbestersebut, ketentuan pajak di Indonesia belum bisa menge-nakan pajak atas kekayaaan 50 crazy rich dimaksud. Alasannya, ada perbedaan mendasar di dalam menentu-kan basis pemajakan.
Berdasarkan UU pajak yang mengatur pajak kekayaan di atas, pajak kekayaan di Indonesia tidak dikenakan atas unrealized gains yang berasal dari penilaian harta saham sesuai harga pasar di akhir tahun. Pajak kekayaan atas saham itu muncul ketika saham tersebut ditransaksi-kan sehingga sudah ada realisasi (realized gains).
Secara khusus, Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh mengatur pajak atas keuntungan penga-lihan harta yang sudah ditransaksikan tersebut. Selain itu, Pasal 4 ayat (2) UU PPh beserta aturan pelaksana Peraturan Pemerintah (PP) 41/1994 dan PP 14/1997 juga mengatur PPh atas transaksi pengalihan saham di bursa efek.
Hal serupa tentang realized gains juga berlaku untuk depo-sito/tabungan nonrupiah jika pemiliknya adalah orang pribadi (termasuk crazy rich dan peja-bat menteri). PPh tidak dikenakan atas keuntungan selisih kurs yang belum terealisasi.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah kenaikan harga saham sesuai harga pasar membuat pemilik saham tersebut memiliki kemampuan membayar? Prinsip utama dari PPh untuk kasus di atas adalah ability to pay (kemampuan membayar). Karena itu, tidak ada potensi pajak kekayaan dari crazy rich Indonesia jika acuannya adalah kenaikan harta (net wealth) yang masih berupa unrealized gains.
Saat ini, crazy rich telah dipajaki melalui UU PPh yang telah memperluas objeknya berupa imbalan natura/kenik-matan. Tarif pajak progresif juga ditambah sehingga tarif tertingginya menjadi 35%. UU PPh fokus pada pengenaan pajak atas peningkatan penghasilan sebelum penghasilan tersebut digunakan untuk konsumsi atau menambah harta (net wealth).
Pengenaan pajaknya menggunakan meka-nisme PPh Pasal 21 yang dipo-tong oleh pemberi kerja atas semua imbalan orang pribadi, termasuk crazy rich.
Karena selama ini sudah ada regulasi tentang pemajakan atas penghasilan crazy rich, belum diperlukan regulasi pajak baru. Untuk hal ini, pemerintah ting-gal mengintensifkan ketentuan pajak natura, serta memastikan pengenaan PPh 35% atas peng-hasilan setahun mereka yang di atas Rp5 miliar dilaksanakan dengan baik