Opini: PPN 12%, Apa Kabar Ekonomi 8%?

Opini: PPN 12%, Apa Kabar Ekonomi 8%?

Bisnis.com, JAKARTA- Sabtu malam, lepas isya beberapa anak kecil bermain di lapangan badminton samping musala dekat rumah. Mereka tidak langsung pulang, tetapi memilih bermain bola plastik dengan sarung terikat di pinggang. Sedangkan saya, memilih ngopi bersama bapak-bapak di saung pojok lapangan yang membahas kenaikan iuran kas RT sejak bulan lalu. Pembahasan yang alot karena masih ada warga yang tidak setuju kenaikan iuran.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bersama beberapa menteri kabinet merah putih lainnya, baru-baru ini mengumumkan pemberlakuan tarif PPN sebesar 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan menaikkan PPN yang sepertinya bukan tanpa alasan, sama halnya dengan kenaikan iuran RT tadi.

Kenaikan iuran berdampak pada bertambahnya kas RT, yang dapat digunakan untuk kepentingan bersama. Salah satunya adalah perbaikan empat titik penerangan lapangan, dan perbaikan saung sekaligus pos keamanan. Menurut Pak RT, kenaikan iuran tidak diberlakukan pada warganya yang tidak mampu.

Lalu apa alasan dibalik kenaikan PPN 12%? Kebijakan menaikkan PPN merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara, terutama penerimaan perpajakan. Peningkatan pendapatan diharapkan mampu untuk mengurangi ketergantungan pembiayaan terutama utang pada APBN sehingga dapat menjaga stabilitas perekonomian nasional dalam jangka panjang.

Pemanfaatan kas RT untuk penerangan lapangan mirip dengan apa yang pemerintah lakukan dalam pengalokasian subsidi pada APBN. Presiden Prabowo Subianto dalam pidato pelantikannya juga menyinggung tentang subsidi, yaitu “Semua subsidi, bantuan kepada rakyat kita yang masih dalam keadaan susah harus kita yakin subsidi-subsidi itu sampai kepada mereka yang membutuhkan”.

Bila perbaikan penerangan lapangan memberikan manfaat bagi para warga, pun demikian seharusnya dengan subsidi. Pemerintah harus mengkaji dengan teliti pengelolaan subsidi agar dapat efektif atau tepat sasaran, sehingga manfaatnya dirasakan oleh masyarakat secara optimal. Meskipun demikian, Menteri Keuangan pada suatu kesempatan juga terus mengingatkan pentingnya kesehatan dan keberlanjutan APBN yang tetap terjaga.

APBN harus dapat mengantisipasi kekhawatiran dampak kebijakan. Kenaikan PPN bila “serampangan”, berisiko mengakibatkan peningkatan beban masyarakat miskin karena berpotensi menaikkan harga barang-barang kebutuhan dan jasa. Lebih jauh, kebijakan ini bahkan bisa mengakibatkan penurunan daya saing produk ekspor dalam negeri karena kenaikan biaya produksinya.

Kenaikan harga erat kaitannya dengan lonjakan inflasi yang mengakibatkan tekanan pada daya beli. Hal itu tentu memengaruhi konsumsi masyarakat, sehingga ujungnya berakibat pada perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Belum lagi risiko moral hazard seperti Tax Avoidance atau upaya penghindaran pajak, dapat menggagalkan upaya peningkatan pendapatan yang menjadi latar belakang kebijakan.

Pemerintah harus dapat mengoptimalkan peran APBN. Melalui fungsi stabilisasinya, APBN harus mampu memastikan perekonomian nasional dan masyarakat agar tidak terdampak volatilitas global maupun kondisi geopolitik.

Kemudian fungsi distribusi, di mana APBN harus dapat memastikan bahwa anggaran menyasar kepada masyarakat, sektor, dan daerah yang jelas-jelas membutuhkan. Dan yang tidak kalah penting, APBN harus dapat mengalokasikan sumber daya secara lebih baik dalam perekonomian.

Untungnya pemerintah tidak pilih menyerah, seperti kata Bernadya. Presiden telah menggarisbawahi hal-hal yang menjadi perhatian pemerintahannya, seperti ketahanan pangan, ketahanan energi, penyediaan makanan gratis untuk anak-anak, dan penghiliran. Negara menjamin akan terus menjaga daya beli masyarakat dan menstimulasi perekonomian melalui berbagai paket kebijakan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan.

Pemerintah sebenarnya telah menjawab kekhawatiran tadi, dengan implementasi kebijakan yang selektif. Pemerintah pada prinsipnya akan tetap hadir, dengan memastikan kebijakan diterapkan secara berkeadilan. Kelompok masyarakat yang mampu, akan membayar kewajiban pajaknya sesuai undang-undang. Sedangkan masyarakat yang tidak mampu, akan dilindungi bahkan diberikan bantuan, ucap Menteri Keuangan dalam suatu konferensi pers.

Pemerintah telah menetapkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat banyak, seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, untuk tetap dibebaskan dari PPN alias PPN 0%. Selain itu, barang yang seharusnya terkena PPN 12%, seperti tepung terigu, gula untuk industri, dan Minyak Kita, kenaikan 1% nya dibayar atau Ditanggung Pemerintah (DTP).

Pemerintah juga memberikan bantuan perlindungan sosial untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah, seperti bantuan pangan dan diskon listrik 50%. Belum lagi insentif perpajakan, seperti perpanjangan PPh Final 0,5% untuk UMKM dan PPh 21 DTP untuk industri pada karya. Pemerintah mengeklaim bahwa seluruh insentif PPN atau Tax Expenditure sepanjang 2025, bila ditotal mencapai Rp265,6 triliun.

Saya sangat percaya, kalau pemerintah menjanjikan insentif perpajakan akan dinikmati oleh rumah tangga, mendorong dunia usaha dan UMKM. Saya juga sangat percaya bahwa pemerintah akan menggunakan APBN sebagai instrumen menjaga ekonomi, mewujudkan keadilan dan gotong royong. Namun, ada hal yang menurut saya akan menjadi PR besar pemerintah, yaitu janji Presiden mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8%.

Logika sederhana, kenaikan pajak akan mengurangi pendapatan atau daya beli (masyarakat) dan investasi (bisnis). Padahal kita tahu kalau pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh konsumsi masyarakat, investasi, pengeluaran pemerintah, dan perdagangan internasional. Perekonomian nasional sendiri masih sangat tergantung oleh konsumsi masyarakat, di mana rilis BPS pada kuartal III/2024 menunjukkan kontribusi konsumsi rumah tangga yang mencapai 53,08%. Alhasil, dengan dua komponen penting perekonomian nasional yang mengalami tekanan, kian menambah beban pemerintah untuk mendorong ekonomi bangsa ini.

Menjawab PR berat tersebut, pemerintah harus konsisten melaksanakan janji kampanyenya. Mas Wakil Presiden pernah menyatakan untuk tidak akan berburu di kebun binatang, tetapi memilih untuk memperluas kebun binatangnya. Pemerintah harus gercep memperluas basis pajak sekaligus meningkatkan kepatuhan pajak, terutama sektor yang belum optimal.

Selain itu, penerapan pajak yang lebih progresif bisa menjadi pilihan. Pemerintah sebenarnya telah mempraktikkan dalam kebijakan PPN 12% ini, yang hanya dikenakan kepada barang dan jasa berkategori mewah. Meskipun demikian, mungkin pemerintah perlu menggali lagi potensi penerapannya pada objek pajak lainnya.

Setelah perluasan objek dan pajak progresif, adalah bagaimana pemerintah dapat menyusun sekaligus mengelola APBN yang efektif dan efisien. APBN harus dapat dialokasikan pada sektor dan program yang memiliki dampak positif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Alhasil, pemerintah tidak lagi terlalu bergantung pada kebijakan menaikkan tarif pajak dalam membiayai APBN.

Tak terasa waktu menunjukkan jam 11 malam, gerimis hujan mulai turun dan sepertinya makin deras. Anak-anak sebenarnya girang, tetapi diteriaki untuk segera pulang. Bapak-bapak bergegas bubar, karena saung belum selesai dipugar. Saya pun berlari kecil sembari bertanya dalam hati, jangan-jangan pagar rumah sudah dikunci karena istri ternyata missed call 12 kali.

Sumber