Opini: Tarik Ulur Penerapan Tarif PPN

Opini: Tarik Ulur Penerapan Tarif PPN

Bisnis.com, JAKARTA - Tarik ulur terkait rencana pemerintah menetapkan tarif baru Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di tahun 2025 memasuki babak baru. Sebelumnya, Dewan Ekonomi Nasional sempat menyatakan usulan untuk menunda kenaikan tarif PPN.

Seiring berjalannya waktu, Dewan Perwakilan Rakyat juga menyampaikan concern terkait PPN dan berharap pemerintah dapat menunda agar tidak menetapkan tarif 12% PPN. Dalam dinamika terakhir, DPR dan pemerintah dikabarkan akan tetap menjalankan tarif PPN 12% tetapi dengan skema multitarif, yaitu tarif baru PPN hanya berlaku untuk barang mewah saja.

Seperti yang kita tahu selama ini Indonesia menganut sistem single tarif atau tarif tunggal dalam PPN. Diadopsinya sistem tarif tunggal PPN tentu bukan tanpa alasan. Sistem PPN tarif tunggal dikenal sebagai pendekatan yang sederhana dan efisien secara administratif.

Dengan satu tarif yang berlaku untuk semua barang dan jasa, sistem ini memudahkan perhitungan pajak bagi pelaku usaha sekaligus mengurangi kompleksitas administrasi bagi otoritas pajak.

Keunggulan lainnya adalah transparansi, yang memungkinkan masyarakat memahami beban pajak secara langsung. Banyak negara juga yang relatif memilih untuk menggunakan sistem tarif tunggal dengan berbagai alasan tersebut.

Meski demikian tidak sedikit juga negara yang menerapkan variasi tarif dalam PPN. Sistem ini dinilai menawarkan fleksibilitas yang lebih besar dengan menerapkan tarif berbeda pada kategori barang dan jasa tertentu.

Tarif rendah pada barang kebutuhan pokok, seperti makanan dan kesehatan, digunakan untuk mengurangi beban pajak bagi kelompok berpenghasilan rendah, sementara tarif lebih tinggi pada barang mewah dapat meningkatkan keadilan redistributif.

Sistem ini memungkinkan pemerintah menggunakan kebijakan pajak sebagai alat untuk mendorong sektor tertentu yang dianggap strategis, seperti pendidikan atau energi terbarukan.

Di balik kelebihannya, baik tarif tunggal maupun multi tarif PPN punya keterbatasan masing-masing. Kelemahan utama dari tarif tunggal adalah sifatnya yang regresif karena semua kelompok pendapatan membayar pajak pada tingkat yang sama, beban ini lebih berat bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang cenderung mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan konsumsi.

Ketidaksensitifan terhadap perbedaan antara kebutuhan pokok dan barang mewah juga menjadi hambatan bagi pencapaian keadilan sosial.

Sementara itu, sistem multarif memiliki kompleksitas administrasi yang tinggi. Beragam tarif meningkatkan risiko kesalahan klasifikasi barang dan jasa, membuka peluang penghindaran pajak, dan menambah beban administrasi baik bagi pemerintah maupun pelaku usaha. Tarif yang berbeda juga dapat menciptakan peluang penghindaran pajak melalui kesalahan klasifikasi barang dan jasa (Hasseldine & Hite, 2003).

Melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing skema, manakah yang lebih relevan untuk kondisi Indonesia saat ini? Kenaikan PPN dengan skema tarif tunggal yang bersifat regresif dinilai kurang ideal untuk diterapkan dalam situasi perekonomian saat ini.

Hingga kuartal empat tahun ini, indikasi perlambatan daya beli atau konsumsi masyarakat masih terlihat pada beberapa indikator utama. Selain itu, hasil analisis LPEM UI menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 11% membebani rumah tangga miskin terbawah dengan tambahan beban hingga 0,81 poin persentase, makin menguatkan alasan untuk tidak memilih menaikkan dengan skema tarif tunggal.

Lalu, apakah pemerintah dapat mengimplementasikan skema multi tarif? Jawabannya bergantung pada sejauh mana otoritas pajak siap menyusun aturan teknis terkait penerapan skema tersebut.

Dengan tenggat waktu penerapan tarif baru yang kurang dari 1 bulan, idealnya stakeholder terkait terlebih dahulu melakukan kajian menyeluruh, tidak hanya pada penentuan tarif, tetapi juga pada kesiapan otoritas pajak serta identifikasi barang yang akan dimasukkan ke dalam skema multi-tarif PPN.

Oleh karena itu, menunda rencana kenaikan tarif PPN dalam bentuk skema apa pun merupakan langkah yang lebih tepat saat ini. Pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menetapkan batas waktu dan arah kebijakan terkait kenaikan tarif PPN. Penundaan ini dapat diimbangi dengan menyesuaikan ruang fiskal melalui realokasi, efisiensi, atau penyesuaian target defisit anggaran.

Selama periode penundaan, jika pemerintah berniat mengadopsi skema multi-tarif, diperlukan kajian mendalam mengenai implementasinya. Kemampuan administrasi perpajakan menjadi faktor kunci keberhasilan skema ini.

Negara dengan infrastruktur teknologi yang canggih dan sumber daya manusia yang kompeten lebih mampu menangani kompleksitas sistem multi-tarif. Oleh karena itu, penguatan kapasitas administrasi perpajakan menjadi langkah krusial sebelum penerapan skema ini.

Hal ini dapat dilakukan dan selaras dengan wacana pemerintah yang ingin mendirikan kementerian ataupun badan terpisah penerimaan negara. Lebih fleksibelnya model kelembagaan terpisah dapat dijadikan sebagai pemerintah sebagai pintu masuk dalam menjalankan kebijakan sistem multitarif PPN. Terlebih lagi negara yang telah mengadopsi skema multitarif juga punya kelembagaan otonom penerimaan yang terpisah.

Sebagai penutup, menunda kenaikan tarif PPN sambil memperkuat administrasi perpajakan adalah langkah strategis untuk menghindari gangguan daya beli masyarakat.

Penundaan ini memberi waktu bagi pemerintah menyusun kebijakan yang matang, sambil meningkatkan kapasitas melalui teknologi dan restrukturisasi kelembagaan, guna mendukung sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Sumber