OTT Tak Relevan Lagi dalam Memberantas Korupsi?

OTT Tak Relevan Lagi dalam Memberantas Korupsi?

Dalam pemeriksaan fit and proper test Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Komisi III DPR pada 19 Oktober lalu, Johanis Tanak menyebut akan menghilangkan operasi tangkap tangan (OTT) jika terpilih menjadi ketua komisi antirasuah tersebut. Bagi mantan Komisioner KPK itu, OTT sudah tidak lagi relevan untuk menyelesaikan tindak pidana korupsi. Hal ini menurutnya karena OTT bertentangan dengan KUHAP.

Pernyataan Johanis Tanak tersebut tentunya mengundang berbagai macam respons dari masyarakat. Pasalnya, OTT sering digunakan oleh KPK sebagai senjata mutakhir pemberantasan korupsi. Katakanlah dalam kasus dugaan pungutan dana pilkada yang dilakukan oleh Gubernur Bengkulu baru-baru ini, atau mungkin dalam kasus yang cukup fenomenal berkenaan dengan korupsi dana hibah KONI dari Kemenpora yang melibatkan Imam Nahrawi. Pada akhirnya, hal ini menimbulkan tanda tanya besar, apakah operasi tangkap tangan masih relevan digunakan dalam pemberantasan korupsi?

OTT atau hand arrest operation merupakan salah satu metode yang sering digunakan KPK untuk menangkap pelaku korupsi dengan melakukan operasi senyap (silent operation) secara terstruktur. Target dari OTT jarang yang dapat selamat dari tuduhan korupsi, sebab KPK sebelum melakukan operasi tersebut telah "mengendus" adanya tindak pidana korupsi melalui penelusuran yang panjang. Paling tidak, KPK dalam melakukan OTT menggunakan dua teknik untuk mengumpulkan informasi yaitu dengan penyadapan dan penjebakan.

Saat ini, OTT memiliki posisi yang cukup vital dalam upaya pemberantasan korupsi. Melalui OTT, koruptor dapat segera ditangkap oleh aparat penegak hukum tanpa perlu melewati proses birokrasi yang rumit dan jelimet. Korupsi merupakan tindak pidana yang sulit dibuktikan; pelaku biasanya melakukan silent operation dalam memuluskan tindakannya. Kalau perlu, sebisa mungkin meniadakan alat bukti atas tindak pidana tersebut. Maka dari itu, diperlukan silent operation pula dengan metode yang tidak berbelit-belit seperti OTT untuk mempercepat pemberantasan korupsi.

Bukan Metode Tanpa Celah

OTT dalam pemberantasan korupsi bukanlah metode tanpa celah dan kontroversi. Jika ditelusuri, istilah OTT secara eksplisit tidak dikenal dalam KUHAP. Istilah ini justru baru ditemukan dalam Perpres No. 87 Tahun 2016. Selain itu, penggunaan teknik penjebakan dalam OTT juga hingga saat ini belum memiliki landasan hukum yang kuat. Kedua permasalahan tersebut kemudian menjadi pusat perdebatan beberapa ahli hukum.

Jika dikaitkan dengan doktrin hukum pidana dan aktualisasi pemberantasan korupsi, maka dapat diperhatikan beberapa hal berikut. Pertama, dengan tren praktik korupsi yang terus meningkat dan semakin canggih, maka diperlukan metode pemberantasan korupsi yang tangkas dan senyap seperti OTT. Kedua, bukti-bukti yang diperoleh melalui OTT sangatlah jelas dan akurat bahkan dapat memenuhi kualifikasi pembuktian sempurna (probatio plena), sebab bukti tersebut diperoleh secara langsung dari pelaku kejahatan. Tentu ini sejalan dengan postulat in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores yang berarti bahwa dalam perkara pidana bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya.

Ketiga, harus ada pengaturan yang jelas dan strict mengenai pengertian dan ruang lingkup pelaksanaan OTT dalam KUHAP, UU KPK, dan perundang-undangan terkait. Adanya pengaturan OTT yang jelas dan strict akan memecah disharmoni konsep antar perundang-undangan. Pengaturan yang jelas dan strict juga dapat membatasi potensi penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum, serta mengurangi pengaruh politik praktis yang menguntungkan pihak tertentu dalam suatu kasus korupsi.

Pada akhirnya, OTT sebagai salah satu metode pemberantasan korupsi masih relevan dan sangat dibutuhkan. Hanya saja, metode OTT harus diimbangi dengan pengaturan yang jelas dan strict dalam perundang-undangan. Hal ini agar pelaksanaan OTT, baik dengan teknik penyadapan dan penjebakan, memiliki dasar hukum yang kuat. Dengan demikian, OTT dapat menjadi metode ampuh dalam agenda percepatan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Wahyu Nugroho pegiat hukum di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sumber