Pakar Pemilu: Kasus Harun Masiku Cermin Pemaksaan Elite dan Politik Transaksional

Pakar Pemilu: Kasus Harun Masiku Cermin Pemaksaan Elite dan Politik Transaksional

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengajar Hukum Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraeni, menilai kasus suap yang melibatkan politikus PDI-Perjuangan, Harun Masiku, dan Sekjen PDIP Hasto Kristianto merupakan bentuk politik transaksional.

Titi mengatakan kasus ini berpotensi merusak demokrasi dan pemilihan calon legislatif, baik dalam sistem proporsional tertutup maupun terbuka.

"Kasus Harun Masiku ini lebih mencerminkan pemaksaan elite politik karena adanya favoritisme atas caleg yang rentan menimbulkan kesewenang-wenangan dan praktik politik transaksional," ujar Titi dalam wawancara dengan Kompas.com pada Kamis (26/12/2024).

Titi menjelaskan bahwa pemilihan legislatif saat ini menganut sistem proporsional terbuka.

Namun, kasus Harun Masiku justru menunjukkan pelanggaran dalam sistem tersebut.

Ia menegaskan bahwa jika sistem proporsional tertutup diterapkan, pelanggaran tetap bisa terjadi.

Dalam sistem ini, partai politik harus menyerahkan daftar caleg beserta nomor urutnya.

"Ketika caleg terpilih, yaitu caleg nomor urut 1 berhalangan tetap, maka yang menggantikan adalah caleg nomor urut 2, dan demikian seterusnya. Sedangkan untuk kasus Harun Masiku ini, yang bersangkutan nomor urutnya jauh di bawah, yaitu nomor urut 6," ucap Titi.

"Jadi apa yang terjadi pada kasus Harun Masiku adalah tidak masuk akal baik untuk sistem proporsional terbuka ataupun tertutup," imbuh dia.

Kasus Harun Masiku kembali mencuat setelah Hasto Kristianto ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (24/12/2024).

Hasto diduga meminta Riesky Aprilia, calon anggota DPR RI dari PDIP Dapil I Sumatera Selatan, untuk mundur dan digantikan oleh Harun Masiku.

Padahal, Riesky memperoleh suara terbanyak kedua, yaitu 44.402 suara.

Ia berhak menjadi anggota DPR RI pergantian antar waktu (PAW) setelah caleg dengan suara terbanyak, Nazarudin Kiemas, meninggal dunia.

Hasto diduga ingin Harun Masiku, yang hanya meraih 5.878 suara, menggantikan Nazarudin Kiemas dan berusaha menutupi surat undangan pelantikan Riesky Aprilia.

Hasto juga mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Agung pada 24 Juni 2019 dan menandatangani surat terkait permohonan pelaksanaan putusan JR.

Namun, meski telah terbit putusan MA, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak melaksanakan putusan tersebut.

Hasto kemudian meminta fatwa kepada MA.

Selain itu, Hasto meminta Riesky untuk mengundurkan diri dan menyerahkan kursinya kepada Harun Masiku.

Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Riesky.

Hasto juga pernah memerintahkan orang kepercayaannya untuk menemui Riesky di Singapura dan memintanya mundur.

Namun, Riesky tetap bersikeras mempertahankan kursinya di Senayan hingga Hasto menahan surat undangan pelantikan Riesky.

Karena usaha tersebut tidak membuahkan hasil, Hasto akhirnya bersama Harun Masiku menyuap Komisioner KPU saat itu, Wahyu Setiawan, dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Agustina Tio Fridelina.

Suap ini dilakukan agar Harun Masiku dapat ditetapkan sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024 dari Dapil I Sumsel.

Sumber