Pakar: Pencabutan Status Tersangka Kasus Korupsi Rumah Duafa Aceh Utara Bertentangan dengan Prinsip Hukum

Pakar: Pencabutan Status Tersangka Kasus Korupsi Rumah Duafa Aceh Utara Bertentangan dengan Prinsip Hukum

ACEH UTARA, KOMPAS.com- Pencabutan status tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan rumah duafa di Baitul Mal, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, dinilai bertentangan dengan prinsip hukum.

Masalahnya, pengembalian uang negara menjadi salah satu celah untuk menghentikan kasus tindak pidana korupsi.

Hal itu diungkapkan dosen hukum pidana Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh Utara, Muhammad Hatta, Sabtu (11/1/2025).

“Setahu saya, Kejaksaan RI sudah mengeluarkan peraturan tersendiri mengenai aset recovery bahwa korupsi di bawah satu juta, jika dikembalikan maka perkaranya dapat dihentikan penuntutan,” terangnya kepada Kompas.com.

Dari sisi ilmu hukum, sambung Hatta, peraturan ini bertentangan dengan UU Tindak Pidana Korupsi dan prinsip-prinsip umum dalam hukum pidana, bahwa pengembalian hasil tindak pidana korupsi tidak menghapuskan pidana.

“Kondisi ini terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Soal status tersangka bertahun-tahun, itu juga terjadi. Sebut saja misalnya status tersangka Rj Lino, mantan Direktur Pelindo. KPK tidak diberikan kewenangan menghentikan penyidikan, maka RJ Lino bertahun-tahun jadi tersangka,” katanya.

Dia menyebutkan, jiwa warga negara ingin status tersangkanya segera berakhir, dengan sistem hukum Indonesia, satu-satunya cara hanya lewat mekanisme pra peradilan.

“Tapi kalau mau status tersangka dicabut, ajukan gugatan praperadilan. Itu saja jalannya,” terang Hatta.

Sebelumnya diberitakan, Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Utara, Provinsi Aceh, mengumumkan penghentian dugaan penyidikan kasus dugaan korupsi pembangunan rumah duafa tahun 2021. Penghentian telah dilakukan 2 Juli 2024. Status lima tersangka sudah dicabut.

Mereka adalah Kepala Baitul Mal Aceh Utara, YI (43) berstatus non ASN. Kepala Sekretariat Baitul Mal Kabupaten Aceh Utara, ZZ (46), Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) berinisial M (49). Kemudian Ketua Tim Pelaksana RS (36), ketiganya berstatus ASN. Terakhir Koordinator Tim Pelaksana, berinisial Z (39) berstatus non ASN. Mereka berstatus tersangka sejak Agustus 2022.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI sudah mengeluarkan laporan invetigasi dengan temuan Rp 200 juta kerugian negara. Uang itu telah dikembalikan kelima tersangka dan seluruh proyek rumah telah diselesaikan.

Sumber