Pakar Sebut Laporan terhadap Guru Besar IPB soal Kerugian Kasus Timah Tak Boleh Diproses
JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyebut pihak kepolisian tidak boleh memproses laporan terhadap Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo.
Fickar beralasan, tindakan Bambang Hero menghitung kerugian negara dalam kasus korupsi tata niaga timah bukanlah sebuah kejahatan, melainkan pendapat yang diberikan berdasarkan keahlian.
"Polisi tidak boleh memproses karena ini bukan kejahatan, ini adalah pendapat yang diberikan seorang berdasarkan keahliannya," kata Fickar saat dihubungi Kompas.com, Jumat (10/1/2025).
Bambang merupakan ahli lingkungan yang menghitung kerugian negara sebesar Rp 271 triliun akibat kasus dugaan korupsi pada tata niaga timah.
Hasil perhitungannya kemudian diakomodasi dan divalidasi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Menurut Fickar, pihak yang keberatan dengan pendapat tersebut semestinya dapat mengajukan pendapat lain.
Pendapat baru itu bisa dituangkan dalam memori banding atau memori kasasi yang diajukan para terdakwa kasus korupsi timah.
"Bukan melaporkannya secara pidana. Pelapor ini kurang kerjaan dan pikirannya pendek," ujar Fickar.
Akademisi itu menekankan, kepolisian tidak bisa menindaklanjuti aduan yang dilayangkan sejumlah pihak terhadap Bambang.
Sebab, pendapat ahli di muka sidang bersifat bebas untuk diikuti oleh majelis hakim atau tidak.
"Namanya pendapat, bebas itu diikuti atau diterima oleh hakim atau diabaikan, tidak ada unsur pidana sedikit pun," tuturnya.
Sebelumnya, Bambang dilaporkan ke Polda Kepulauan Bangka Belitung karena dinilai tidak kompeten menghitung kerugian lingkungan.
Kuasa hukum pelapor, Andi Kusuma, mengatakan laporan ini dilayangkan dan tidak ada hubungannya dengan kasus perorangan seperti Harvey Moeis, salah satu terdakwa kasus korupsi timah.
"Kami hanya soal penghitungan kerugian negara yang perlu menjadi perhatian bersama. Soal Harvey Moeis dan lainnya tidak bisa saya komentari karena bukan klien kami," jelas Andi di Polda Bangka Belitung, Rabu (8/1/2025).
Adapun kerugian lingkungan yang kemudian ditetapkan sebagai kerugian negara oleh BPKP merupakan nilai yang paling dominan dalam perkara timah.
Dalam persidangan, auditor investigasi BPKP, Suaedi, menyebut kerugian negara sebesar Rp 300 triliun terdiri dari tiga klaster.
Salah satunya adalah klaster kerugian lingkungan yang terdiri dari kerugian ekologi sebesar Rp 183.703.234.398.100, kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp 74.479.370.880.000, dan biaya pemulihan sebesar Rp 11.887.082.740.600.