Pakar Sebut Revisi UU Pemilu Harus Berpedeoman ke Putusan MK yang Hapus Presidential Threshold
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia Titi Angraini menyatakan, revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mesti berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Revisi UU Pemilu ini diketahui telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2025 oleh DPR-RI.
"Putusan hari ini harus menjadi pedoman bagi pembentuk undang-undang, presiden, ataupun DPR," kata Titi saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
Titi menegaskan, pemerintah dan DPR jangan mencoba melakukan distorsi terhadap putusan tersebut.
Dia mengingatkan bahwa masyarakat akan melawan apabila DPR mengutak-atik putusan MK seperti yang terjadi ketika DPR merevisi UU Pilkada agar tak sesuai putusan MK.
"Kita harus belajar dari peringatan darurat ketika parlemen mencoba membonsai putusan MK; perlawanan masyarakat luar biasa," ujar Titi.
Selain itu, Titi berharap besar kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mengawal putusan MK ini dengan baik.
"Kami berharap Presiden Prabowo menjadi yang paling depan untuk menegakkan putusan MK nomor 62 tahun 2024," kata dia.
Titi juga menegaskan, putusan MK yang dibacakan hari ini bersifat erga omnes, yakni berlaku untuk semua dan berlaku saat diucapkan, kecuali dalam putusan ada penundaan pemberlakuan secara spesifik.
"Putusan ini tidak menyebut soal penundaan pemberlakuan. Dengan demikian, sesuai dengan asas erga omnes dan sifat putusan MK yang final and binding, maka dia serta-merta berlaku. Tidak ada debat bahwa ini putusan tidak diberlakukan di 2029," kata Titi.
Diberitakan, MK memberi lima poin pedoman rekayasa konstitusional atau constitutional engineering, menyusul dihapusnya ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, mengatakan pedoman untuk melakukan rekayasa konstitusional dapat dipertimbangkan oleh pembentuk undang-undang dalam merevisi UU Pemilu agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membludak.
"Jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia," kata Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Kamis (2/1/2/2025), dikutip dari Antara.
Oleh karena itu, kata dia, pembentuk undang-undang, dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017, dapat melakukan rekayasa konstitusional dengan memperhatikan sejumlah hal. ”
Berikut ini adalah lima poin pedoman dari Mahkamah Konstitusi terkait pencalonan presiden usai MK hapus presidential threshold