Pakar Tata Negara Kritik DPR, Singgung UU MK yang Diutak-atik
JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) berupaya mengintervensi kekuasaan yudikatif.
Pernyataan ini disampaikan Bivitri dalam acara peluncuran buku "Evaluasi Persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024 Upaya Mewujudkan Keadilan Pemilu dan Demokrasi Substansial" di Kuningan, Jakarta, pada Minggu (8/12/2024).
Dalam forum tersebut, Bivitri menjelaskan bahwa hukum acara di Mahkamah Konstitusi (MK) diatur dalam bentuk undang-undang, dan saat ini diatur melalui Peraturan MK (PMK).
Namun, ia menyoroti bahwa penyusunan undang-undang harus melalui proses di DPR RI, yang menurutnya merupakan bagian dari buruknya demokrasi di Indonesia.
“Sorry to say, tapi DPR sekarang karakternya itu sebenarnya karakter yang bisa kita, dari secara empiris ya, saya enggak mau angan-angan imajinasi kosong, tapi kita bisa baca beberapa tahun terakhir ini DPR yang berusaha juga untuk mengintervensi kekuasaan yudikatif,” ujar Bivitri.
Ia juga mengungkapkan bahwa publik telah menyaksikan upaya DPR RI untuk mengubah Undang-Undang (UU) MK.
Ketika wacana revisi UU MK tersebut muncul, banyak pegiat hukum tata negara yang memberikan sorotan terhadap agenda tersebut.
“Untunglah sampai sekarang masih bisa ditahan, enggak tahu nanti kayak gimana ya,” kata Bivitri.
Bivitri menilai bahwa UU MK telah beberapa kali diubah, namun perubahan tersebut tidak menyelesaikan masalah hukum acara di MK, rekrutmen, dan pengawasan hakim.
Ia berpendapat bahwa perubahan UU MK justru membuka ruang yang dapat mengganggu independensi hakim.
“Bukannya ke situ, yang diutak-atik soal-soal lainnya yang bisa menimbulkan ruang intervensi kepada Mahkamah Konstitusi,” tambahnya.
Selain agenda revisi UU MK, pencopotan hakim konstitusi Aswanto dan penggantian dengan Guntur Hamzah juga dianggap sebagai bentuk intervensi DPR RI terhadap kekuasaan yudikatif.
Bivitri menegaskan bahwa Aswanto dicopot karena sering menganulir undang-undang yang disusun oleh DPR RI.
“Hakim Aswanto digantikan oleh Guntur Hamzah melalui cara yang sebenarnya menurut kami ilegal kalau membaca Undang-Undang MK dan konstitusi itu sendiri,” tuturnya.