Partai Berkuasa Boikot Voting Pemakzulan, Bagaimana Nasib Presiden Korsel?
Ratusan anggota parlemen berkuasa dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang menyokong Presiden Yoon Suk Yeol telah meninggalkan ruang parlemen, jelang sidang pemungutan suara pemakzulan presiden Korea Selatan itu pada Sabtu (07/12).
Aksi boikot itu berarti meskipun pemungutan suara masih dapat dilakukan, tanpa dukungan dua pertiga suara (dari total 300 anggota parlemen) maka hasil pemungutan suara tidak cukup berarti.
Namun, jika pemungutan suara pemakzulan gagal hari ini yang kemungkinan besar terjadi pemungutan suara berikutnya dapat dilakukan pada Rabu depan (11/12).
PPP kemungkinan menggunakan strategi boikot untuk mencegah pembelotan anggotanya, karena pemungutan suara pemakzulan dilakukan melalui pemungutan suara yang anonim.
Dari 108 anggota parlemen Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang berkuasa, 107 telah meninggalkan ruang pemungutan suara.
Hanya Ahn Cheol-soo, pernah mencalonkan diri sebagai presiden pada 2012, 2017 dan 2022, yang tetap menduduki kursinya. Ahn telah berulang kali mengatakan bahwa ia akan memilih cara pemakzulan jika presiden tidak mengundurkan diri secara sukarela.
Namun, sesaat kemudian, anggota Partai Kekuatan Rakyat (PPP) Kim Ye-ji memutuskan kembali ke dalam persidangan untuk memberikan suara pada usulan pemakzulan.
Kemudian, dilaporkan ada seorang anggota parlemen PPP lagi yang kembali ke ruang sidang. Sehingga total ada tiga anggota PPP yang hadir. Kehadiran mereka disambut oleh tengah tepuk tangan dari anggota parlemen oposisi.
Reuters
Oposisi memerlukan dukungan dari delapan anggota PPP agar mosi pemakzulan Presiden Yoon dapat diloloskan.
Sebelumnya, PPP yang berkuasa telah menegaskan bahwa mereka tidak akan mendukung pemungutan suara untuk pemakzulan. Walau demikian, Ketua PPP, Dong-Hoon, Jumat lalu, tetap menyerukan agar Yoon diberhentikan karena akan menimbulkan "bahaya besar" bagi demokrasi jika ia tetap berkuasa.
Sementara koalisi oposisi, yang memegang mayoritas suara di parlemen, membutuhkan delapan anggota partai Yoon agar pemakzulan disetujui.
Di luar gedung parlemen, puluhan ribu orang berdemonstrasi menuntut Presiden Yoon untuk dicopot dari jabatannya.
Mereka terlihat mencoba menghalangi jalan keluar anggota parlemen yang ‘walk out’ dari sidang, sambil berteriak "pengkhianat".
Selain itu, seorang demonstran terdengar membacakan nama setiap anggota parlemen dari PPP.
"Masuk kembali, ikut dalam pemungutan suara," teriak massa setelah pembicara membacakan setiap nama.
Jumlah massa pun terlihat semakin bertambah dan polisi meningkatkan penjagaan.
Sebelumnya Presiden Yoon telah menyampaikan permintaan maaf karena mengumumkan darurat militer pada awal pekan ini. Dia juga mengatakan bahwa dirinya tidak akan melakukan hal itu lagi.
Walau telah meminta maaf, para pengunjuk rasa bersikeras Yoon harus turun dari jabatannya. Jika tidak, mereka mengaku akan terus berunjuk rasa sampai hal itu tercapai.
"Saya ingin Presiden Yoon dimakzulkan. Dia harus turun sekarang," kata mantan pejabat polisi dan anggota Partai Demokrat Ryu Samyoung, 60 tahun, di tengah hiruk-pikuk protes.
"Partai kami akan mencoba lagi dan lagi sampai pemakzulan berhasil".
Selain itu, seorang perempuan berusia 27 tahun, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan "jika pemakzulan tidak lolos, kami akan terus turun ke jalan".
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol memerintahkan penangkapan pemimpin partai yang berkuasa, Han Dong-hoon, saat mengumumkan darurat militer beberapa waktu lalu.
Daftar penangkapan juga mencakup pemimpin partai oposisi utama, Lee Jae-myung, serta tiga anggota parlemen oposisi, kata wakil direktur Badan Intelijen Nasional.
Menurut pejabat Badan Intelijen Nasional, Hong Jang-won, Presiden Yoon mencoba "menggunakan kesempatan ini untuk menangkap dan membasmi mereka".
Seorang perempuan memegang plakat bertuliskan "Yoon Suk Yeol harus mundur" dalam demonstrasi Seoul pada tanggal 4 Desember 2024 (Getty Images)
Sebelumnya, Han Dong-hoon, pemimpin Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang berkuasa dan menyokong Presiden Yoon, mengklaim partainya telah menerima "bukti kredibel" bahwa Yoon telah memerintahkan penangkapan politisi kunci atas "tuduhan anti-negara".
Han menyatakan kekhawatirannya bahwa "tindakan ekstrem"seperti deklarasi darurat militer yang diumumkan Selasa (03/12)dapat terulang jika Yoon tetap menjabat.
"[Hal ini] akan menempatkan Republik Korea dan rakyatnya pada risiko besar," katanya.
Sementara itu, polisi Korea Selatan sedang menyelidiki Presiden Yoon Suk Yeol atas dugaan "pemberontakan" terkait pernyataannya mengenai darurat militer, kata seorang perwira polisi senior Korea Selatan pada Kamis (05/12).
Polisi sedang menyelidiki Presiden Yoon Suk Yeol atas dugaan "pemberontakan" terkait pernyataannya mengenai darurat militer, kata seorang perwira polisi senior Korea Selatan pada Kamis (05/12) (Getty Images)
Kepala Markas Besar Investigasi Nasional di Kepolisian Nasional Korsel, Woo Jong-soo, mengatakan kepada anggota parlemen bahwa "penyelidikan kasus tersebut sedang dilakukan", menurut kantor berita AFP.
Polisi telah diinstruksikan untuk memberlakukan larangan perjalanan darurat terhadap Kim Yong-hyu, menteri pertahanan yang mengundurkan diri dengan alasan dirinya "bertanggung jawab penuh" atas deklarasi darurat militer.
Kim telah meminta maaf atas perannya dalam dekrit darurat militer yang pertama dalam hampir 50 tahunyang mengejutkan pada Selasa (03/12) malam.
Beberapa laporan media lokal mengatakan bahwa dialah yang mengusulkan gagasan untuk mengumumkan darurat militer kepada Yoon.
Warga Korea Selatan turun ke jalan di luar gedung parlemen pada Rabu (04/12) malam menuntut pengunduran diri atau pemakzulan Presiden Yoon. Protes massal merupakan peristiwa politik yang sering terjadi dan umum di negara ini (Reuters)
Presiden Yoon mengumumkan darurat militer dengan alasan "pasukan anti-negara" dan ancaman dari Korea Utara.
Akan tetapi, tindakan yang diduga bermotif politik itu memicu protes massa dan pemungutan suara darurat di parlemen yang membatalkan tindakan Presiden Yoon tersebut hanya dalam hitungan jam.
Yoon akhirnya menerima keputusan parlemen dan mencabut darurat militer.
Sementara itu, anggota parlemen bersiap memberikan suara atas pemakzulannya, seraya menuduh Yoon telah melakukan "aksi pemberontakan".
Ribuan orang di penjuru Korea Selatan turun ke jalan memprotes tindakan presiden dan menuntut pengunduran dirinya.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer dalam pidato nasionalnya pada Selasa (03/12) malam (Reuters)
Yoon bisa dibilang pendatang baru di dunia politik saat memenangi kursi presiden pada 2022, dalam persaingan yang paling ketat sejak negara tersebut mulai menggelar pemilihan presiden yang bebas pada 1980-an.
Selama masa kampanyenya, pria berusia 63 tahun ini menganjurkan pendekatan yang lebih keras terhadap Korea Utara dan isu-isu gender yang memecah belah.
Selama menjabat, Yoon diketahui melakukan rangkaian kesalahan dan skandal politik, yang menyebabkan tingkat kepuasan terhadapnya anjlok dan melemahkan pemerintahannya yang berpuncak pada pengumuman darurat militer pada Selasa (03/12) malam.
Dalam wawancara dengan BBC, mantan Menteri Luar Negeri Kang Kyung-wha bilang keputusan Yoon menunjukkan bahwa presiden "sama sekali tak memahami realitas yang dialami negara ini saat ini".
Apa yang terjadi selanjutnya, kata Kang, sepenuhnya tergantung pada Yoon.
"Keputusan ada di tangan presiden untuk menemukan jalan keluar dari situasi yang telah dia buat sendiri."
Kendati demikian, sejumlah anggota parlemen dari partai sayap kanan yang berkuasa menyatakan dukungan kepada presiden.
Salah satunya adalah Hwang Kyo-ahn, mantan Perdana Menteri Korea Selatan, yang menyerukan penangkapan Ketua Majelis Nasional Woo Won-shik dan Han Dong-hoon, pemimpin partai yang mendukung Yoon, di sosial medianya seraya menuduh keduanya menghalangi tindakan presiden.
Hwang lebih lanjut menegaskan bahwa "kelompok pro-Korea Utara harus disingkirkan kali ini" dan mendesak Yoon untuk menanggapi dengan tegas, menyerukan penyelidikan dan penggunaan semua kekuatan darurat yang dimilikinya.
Parlemen Korea Selatan akan melakukan pemungutan suara terkait pemakzulan Yoon (Reuters)
Kini, semua mata tertuju pada apakah Yoon akan menghadapi pemakzulan, meskipun dia bukan presiden Korea Selatan pertama yang mengalaminya.
Usulan pemakzulan terhadap Yoon diajukan oleh enam partai oposisi dan harus diputuskan dalam waktu 72 jam. Para anggota parlemen akan berkumpul pada Jumat, 6 Desember, atau Sabtu, 7 Desember.
Agar usulan tersebut dapat disahkan, diperlukan suara dua pertiga dari 300 anggota Majelis Nasional200 suara.
Partai oposisi hampir memiliki cukup suara, sementara partai Yoon sendiri telah mengkritik tindakannya tetapi belum memutuskan sikap mereka.
Jika hanya beberapa anggota partai yang berkuasa mendukung usulan tersebut, pemakzulan akan dilakukan.
BBC
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
BBC
Jika parlemen menyetujui usulan tersebut, kekuasaan Yoon akan segera ditangguhkan, dan Perdana Menteri Han Duck-soo akan menjadi penjabat presiden.
Mahkamah Konstitusi, dewan beranggotakan sembilan orang yang mengawasi pemerintahan Korea Selatan, selanjutnya akan memberikan keputusan akhir.
Jika Mahkamah Konstitusi mendukung pemakzulan, Yoon akan dicopot, dan pemilihan umum baru harus diadakan dalam waktu 60 hari. Jika ditolak, Yoon akan tetap menjabat.
BBC
Hal ini mengingatkan kita pada penggulingan Presiden Park Geun-hye pada 2016. Kala itu, Yoon berperan penting dalam memimpin penuntutan kasus korupsi.
Park dibebaskan pada 2022 setelah menjalani hukuman penjara selama 4 tahun 9 bulan.
Presiden Roh Moo-hyun juga nyaris dicopot dari jabatannya setelah pemungutan suara pemakzulan parlemen dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2004.
Anggota parlemen membawa plakat bertuliskan "Yoon Suk Yeol harus mengundurkan diri" pada 4 Desember (Getty Images)
Deklarasi darurat militer oleh Yoon adalah yang pertama terjadi di Korea Selatan dalam 45 tahun terakhir, membuka luka lama penyalahgunaan tindakan darurat dalam sejarah negara tersebut.
Darurat militer, yang pada awalnya dimaksudkan untuk menstabilkan keadaan darurat nasional, sering dikritik sebagai alat untuk menekan perbedaan pendapat, mempertahankan kekuasaan dan dengan demikian merusak demokrasi.
Pada 1948, Presiden Syngman Rhee mengumumkan darurat militer untuk mengendalikan pemberontakan menentang penindasan pemberontakan Jeju, yang mengakibatkan kematian banyak warga sipil.
Pada 1960, darurat militer disalahgunakan selama Revolusi April, karena protes terhadap pemerintahan Rhee meningkat setelah polisi membunuh seorang siswa sekolah menengah selama unjuk rasa menentang penipuan pemilu.
Presiden Park Chung-hee juga sering memberlakukan darurat militer untuk menekan ancaman terhadap rezimnya, sementara darurat militer selama 440 hari setelah pembunuhannya berpuncak pada Pembantaian Gwangju di bawah Presiden Chun Doohwan.
Peristiwa ini meninggalkan kenangan traumatis bagi warga Korea Selatan, yang mengaitkan darurat militer dengan alat kekuasaan politik, bukan sebagai tindakan untuk keselamatan publik.
Sejak 1987, konstitusi Korea Selatan telah memperketat persyaratan untuk mendeklarasikan darurat militer, dengan memerlukan persetujuan parlemen untuk perpanjangan atau pencabutannya.
Pemimpin partai oposisi utama, Partai Demokrat, berbicara kepada media setelah parlemen menolak darurat militer pada Rabu pagi (Reuters)
Tindakan gegabah Yoon mengejutkan negara tersebut yang mengklaim sebagai negara demokrasi modern yang berkembang pesat dan telah berkembang jauh sejak masa kediktatorannya.
Banyak orang melihat kejadian yang terjadi pekan ini sebagai tantangan terbesar bagi masyarakat demokratis tersebut dalam beberapa dekade.
Para ahli berpendapat bahwa tindakan itu mungkin lebih merusak reputasi Korea Selatan sebagai negara demokrasi, lebih parah dari kerusuhan 6 Januari di AS.
"Pernyataan darurat militer yang dikeluarkan Yoon tampaknya merupakan tindakan yang melampaui batas hukum dan salah perhitungan politik, yang membahayakan ekonomi dan keamanan Korea Selatan," kata Leif-Eric Easley dari Universitas Ewha di Seoul.
"Ia tampak seperti politisi yang sedang terkepung, mengambil langkah putus asa di tengah skandal, hambatan kelembagaan, dan seruan pemakzulan, yang semuanya kini kemungkinan akan meningkat."
Namun, meskipun terjadi kekacauan di Seoul, demokrasi Korea Selatan tampaknya tetap kokoh.
Kang, mantan menteri luar negeri, mengatakan kepada BBC bahwa dia "sangat lega" bahwa ketegangan tampaknya mereda.
"Selama berjam-jam sepanjang malam, [melihat] Majelis Nasional melakukan tugasnya dan warga turun ke jalan menuntut agar RUU ini dicabut harus saya katakan pada akhirnya, hal ini menunjukkan bahwa demokrasi di negara saya kuat dan tangguh."
Sejauh ini, Korea Utara belum memberikan respons terkait situasi politik yang terjadi di Korea Selatan (EPA)
Dalam deklarasinya, Yoon menargetkan Korea Utara, dengan menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk "melindungi Republik Korea yang bebas dari ancaman pasukan komunis Korea Utara" dan untuk "memberantas pasukan anti-negara pro-Korea Utara yang tercela yang menjarah kebebasan dan kebahagiaan rakyat kita."
Komentar seperti ini biasanya akan memancing reaksi dari Korea Utara, tetapi belum ada tanggapan dari media pemerintah negara tersebut.
Komando militer Korea Selatan mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Rabu dini hari bahwa perintah darurat militer Yoon telah dibubarkan dan bahwa "tidak ada kegiatan yang tidak biasa dari Korea Utara."
"Posisi keamanan terhadap Korea Utara tetap stabil," lanjut pernyataan itu, menurut kantor berita Yonhap.
Para pakar mengatakan masih belum jelas mengapa Yoon menyebutkan ancaman Korea Utara, tetapi banyak yang percaya hal itu tidak akan berdampak positif pada meningkatnya ketegangan antara Korea Utara dan Selatan.
Fyodor Tertitskiy, yang meneliti politik Korea Utara di Universitas Kookmin di Seoul, meyakini bahwa "tidak ada cara bagi Korea Utara untuk memanfaatkan krisis ini."
"Semuanya terjadi begitu cepat; hanya berlangsung beberapa jam," ungkapnya kepada BBC.
Saksikan juga video Presiden Korsel Akhirnya Minta Maaf gegara Bikin Gaduh Darurat Militer
[Gambas Video 20detik]