Partai Garuda Harap Parliamentary Threshold Juga Dihapus Setelah Ambang Batas Presiden Ditiadakan

Partai Garuda Harap Parliamentary Threshold Juga Dihapus Setelah Ambang Batas Presiden Ditiadakan

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Umum Partai Garuda Teddy Gusnaidi meminta agar ambang batas parlemen (parliamentary threshold) juga dihapus.

Hal tersebut disampaikan Teddy dalam merespons Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

"Memang arahnya sudah seperti itu, dari perubahan threshold pilkada, lalu kini presidential threshold. Tinggal menunggu waktu parliamentary threshold dihapus," ujar Teddy kepada Kompas.com, Jumat (3/1/2024).

Menurut Teddy, parliamentary threshold memang sudah seharusnya dihapus, mengingat presidential threshold juga sudah ditiadakan.

Dia berpandangan bahwa penghapusan presidential threshold ini adalah hal yang baik.

"Dan memang harus dihapus karena parliamentary threshold sudah kehilangan daya rekatnya dengan adanya putusan MK yang menghapus presidential threshold," ujarnya.

MK telah menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold.

Hal tersebut diputuskan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo, saat membacakan putusan.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujarnya.

MK memutuskan untuk menghapus presidential threshold karena aturan ini dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat.

Selain itu, aturan tersebut juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK.

Dalam putusannya, MK juga mempertimbangkan bahwa pemilihan presiden (pilpres) yang berjalan selama ini didominasi oleh partai peserta pemilu tertentu.

MK berpandangan bahwa hal tersebut berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih untuk mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Jika presidential threshold terus dipertahankan, MK khawatir akan muncul kecenderungan Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon.

Selain itu, masyarakat dapat dengan mudah terjebak dalam polarisasi atau terbelah karena hanya ada dua pasangan calon yang maju dalam pilpres.

Ada juga kemungkinan pilpres diikuti oleh calon tunggal, seperti dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

Hal tersebut berpotensi menghalangi pelaksanaan pemilihan secara langsung oleh rakyat dan menyediakan banyak pilihan capres dan cawapres.

Sumber