Pascatambang untuk Ketahanan Pangan, Air, dan Energi

Pascatambang untuk Ketahanan Pangan, Air, dan Energi

Memang tidak mungkin bikin rendang tanpa harus memecahkan kelapa, mengambil dagingnya untuk dibuat santan sebagai bahan penting untuk membuat rendang. Selanjutnya, sabut, batok kelapa, dan ampas kelapa akan terbuang begitu saja, atau ada pilihan untuk diolah menjadi cocopeat, serat sabut kelapa, berbagai kerajinan yang bernilai tinggi, dan ampas untuk pakan ayam.

Demikian tadi ilustrasi usaha penambangan, akan meninggalkan hutan dan lahan yang terdegradasi, atau disulap menjadi hutan dan lahan yang lebih bermanfaat secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Jika direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, industri pertambangan memberikan sumbangan demikian besar kepada negara, bahkan membuka daerah-daerah yang terpencil.

Desa-desa terpencil, dengan infrastruktur jalan, pendidikan, kesehatan, ekonomi terbatas dalam beberapa tahun berubah menjadi kota-kota tambang dengan jaringan jalan yang baik. Demikian juga fasilitas pendidikan, kesehatan, serta perputaran ekonominya yang semakin kencang, setelah operasi pertambangan berkembang di daerah tersebut.

Industri pertambangan juga dikenal sebagai industri ekstraktif, yaitu mengambil bahan dari alam. Dampak samping akibat kegiatan penambangan telah diketahui oleh banyak pihak, seperti lahan terbuka, erosi, longsor, dan termudah tentunya air yang keluar dari areal penambang ke perairan umum.

Air yang sangat keruh menandakan lahan bukaan tidak dikelola dengan baik dan tidak ada pengelolaan air permukaannya. Air ini berasal dari tanah-tanah terbuka yang tererosi, dan jika dibiarkan masuk ke perairan umum akan menyebabkan pendangkalan perairan umum. Air yang keluar dari areal tambang bisa jadi kelewat jernih, tetapi jika diukur keasamannya sangat asam dapat mematikan kehidupan di perairan.

Bersama-sama para ahli dari berbagai bidang ilmu terkait dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian, pemerintah menyusun kebijakan dan panduan sebagai upaya perbaikan pengelolaan lingkungan tambang secara terus menerus. Saat ini sudah tampak perbedaan yang jelas antara perusahaan pertambangan dan perusahaan perusak lingkungan.

Perusahaan pertambangan akan mengikuti aturan yang telah ditetapkan pemerintah bahkan aturan pasar internasional. Perusahaan perusak lingkungan tidak peduli dengan kerusakan lingkungan dan masyarakat yang menanggungnya.

Perusahaan pertambangan akan mengelola air permukaan dengan membangun fasilitas pengolahan air, perusahaan pertambangan juga akan mengelola batuan penyebab air asam tambang dengan hati-hati karena jika tidak dikelola, kelak menjadi beban berat bagi perusahaan. Hal ini berbeda dengan perusahaan perusak lingkungan yang akan pergi begitu saja saat cadangan bahan tambang sudah tidak ekonomis lagi.

Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah sangat kuat menekankan pada aspek lingkungan lahan bekas tambang, seperti jumlah dan jenis pohon per hektare, pengendalian longsor dan erosi, penutupan lubang bekas tambang.

Dari peraturan-peraturan ini sudah dapat dibuktikan bahwa jenis-jenis pohon lokal, seperti bintangur, meranti, sungkai, kapur, bahkan kayu kuku, merbau, eboni, ulin atau bulian pun telah berhasil ditanam di lahan bekas tambang, bahkan di beberapa perusahaan jenis-jenis pohon lokal yang ditanam telah berbuah dan bijinya digunakan untuk produksi bibit di persemaian.

Beberapa perusahaan mencoba memasang camera trap di lahan-lahan hasil reklamasi yang telah menjadi hutan, satwa liar seperti kancil, rusa sambar, orangutan, bahkan beruang madu telah kembali. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan perundangan yang diterbitkan pemerintah telah menghasilkan reklamasi lahan bekas tambang seperti yang diharapkan.

Di samping manfaat ekologi, pengelolaan lahan dan lubang bekas tambang juga berpotensi dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial. Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral nomor 1827 tahun 2018 memberikan pilihan untuk perusahaan pertambangan melakukan reklamasi lahan dan lubang bekas tambangnya dalam bentuk lain.

Pilihannya, antara lain untuk wisata, sumber air, atau untuk budidaya. Dengan pilihan seperti ini membuka peluang lahan dan lubang bekas tambang direklamasi untuk mendukung program ketahanan pangan, air, dan energi.

Reklamasi lahan bekas tambang untuk tanaman pangan , usaha peternakan, dan hutan energi akan membuka usaha baru yang berarti juga membuka lapangan kerja baru. Lubang bekas tambang dapat dikembangkan untuk membangun industri perikanan, airnya juga dapat digunakan untuk air minum, dan mengairi sawah-sawah yang dibangun di lahan bekas tambang maupun di desa-desa sekitar tambang.

Peternakan sapi pedaging maupun peternakan sapi perah telah dilakukan oleh beberapa perusahaan tambang. Dalam proses reklamasi lahan bekas tambang, setelah lahannya ditata, lalu tanah yang sebelumnya disimpan disebarkan kembali. Selanjutnya, lahan ditanami tanaman penutup tanah, yang pada umumnya jenis tanaman pakan ternak, baik rumput maupun kacang-kacangan.

Oleh karena itu, reklamasi lahan bekas tambang sangat potensial untuk mendukung program ketahanan pangan, khususnya produksi daging. Dengan mengembangkan usaha peternakan, perusahaan pertambangan dapat mengendalikan pertumbuhan tanaman penutup tanah dengan cara produktif, dan mendapatkan pupuk kandang untuk penyubur tanah bekas tambangnya.

Budidaya tanaman jagung secara mekanis, kakao, tanaman buah, aren, dan sagu juga telah berhasil dikembangkan di lahan bekas tambang, bahkan perusahaan pertambangan di Kalimantan Utara telah membangun pabrik coklat untuk mengolah biji kakao yang dihasilkan oleh masyarakat dari program pengembangan masyarakat sekitar tambangnya, dan dari areal reklamasi.

Dalam ketahanan energi, beberapa perusahaan pertambangan juga telah memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di mulut tambang, dimana bahan bakar batubara didapat dari tambangnya. PLTU mulut tambang dengan bahan bakar batubara ini dapat dikonversi menjadi PLTU dengan bahan bakar biomassa, baik serbuk kayu maupun wood pellet sesuai dengan spesifikasi boilernya.

Bahan bakar biomassa dapat berasal dari tanaman gamal, kaliandra, dan sengon buto yang ditanam di areal reklamasinya. Pembangkit listrik tenaga surya juga sudah dikembangkan di beberapa perusahaan pertambangan untuk keperluan sendiri maupun untuk disalurkan ke PLN, baik di darat maupun mengapung di lubang bekas tambang.

Dukungan kebijakan diperlukan berkenaan dengan hak dan kewajiban perusahaan pertambangan jika lahan dan lubang bekas tambang akan dikelola secara komersial sesuai peruntukannya.

Di sektor kehutanan dikenal dengan kebijakan Multiusaha Kehutanan, di mana dengan satu izin, perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dapat melakukan beberapa bentuk usaha di areal konsesinya dengan tetap menjaga tutupan dan kelestarian hutannya.

Jika kesempatan yang sama diberikan kepada perusahaan pertambangan, maka reklamasi dan pengembangan masyarakat bukan lagi "cost centre" tetapi akan berubah menjadi kebutuhan investasi yang berkelanjutan.

Pemerintah yang baru diharapkan dapat memberikan perhatian pada upaya pemanfaatan lahan dan lubang tambang secara produktif untuk mendukung program ketahanan pangan, air, dan energi. Manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial industri pertambangan berjalan seimbang.

Melalui penyediaan akses lebih besar kepada masyarakat akan meningkatkan kepercayaan bahwa lahan dan lubang bekas tambang dapat produktif kembali dan dapat membedakan antara perusahaan pertambangan dengan perusahaan perusak lingkungan.

Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For.Sc, Dosen IPB dan Anggota Dewan Pengarah Forum Komunikasi Pengelola Lingkungan Pertambangan Indonesia (FKPLPI)

Sumber