Pedagang Nasi Goreng: Harga Barang Sudah Mahal, Masa PPN Ikut Naik?
TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com - Pedagang nasi goreng di Pondok Aren bernama Slamet (47) meminta pemerintah membatalkan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Sebab, saat ini harga bahan pokok di pasar tradisional sudah mahal. Dia khawatir dengan kenaikan PPN 12 persen akan semakin mencekik rakyat.
"Saya harap pemerintah turun ke pasar untuk melihat langsung kondisi harga barang. Harga barang sudah mahal, (masa) PPN (ikut) naik lagi, nanti yang kecil-kecil seperti kami yang paling terkena dampaknya," ujar Slamet kepada Kompas.com, Jumat (20/12/2024).
Slamet bercerita, dalam seminggu terakhir harga bahan baku yang biasa dia beli untuk usaha nasi gorengnya terus naik.
"Biasanya belanja itu cukup Rp 600.000 per hari, sekarang jadi Rp 700.000. Semua naik, mulai dari ayam, telur, minyak goreng, sampai kertas nasi. Kalau nanti PPN resmi naik, harga pasti semakin tinggi lagi," keluh Slamet.
Meskipun harga bahan baku naik, Slamet mengaku masih belum berani menaikkan harga jual nasi goreng. Dia khawatir jika harga nasi gorengnya naik akan diprotes pelanggannya.
"Saya belum bisa naikkan harga. Kalau harga naik seribu saja, konsumen pasti protes. Jadi, saya masih tahan dulu. Saya lihat dalam sebulan ke depan, kalau harga bahan baku masih tinggi, mau tidak mau harus dinaikkan," kata Slamet.
Dalam sehari, Slamet bisa menjual sekitar 70 hingga 90 porsi nasi goreng dengan pendapatan rata-rata Rp 1 juta hingga Rp 1,4 juta.
Namun, dengan harga bahan baku yang terus naik keuntungan yang didapat Slamet makin turun.
"Kalau jualan habis, pendapatan bisa Rp 1,4 juta, tapi belanja tetap Rp 700.000. Kadang kalau sepi, cuma dapat Rp 1 juta. Untungnya sudah tipis banget," jelas dia.
Dia berharap situasi ini segera membaik dan harga bahan baku tidak terus merangkak naik.
"Buat kami pedagang kecil, kalau harga naik terus, kami harus naikkan harga jual juga. Tapi, kalau harga jualnya sudah terlalu mahal, pelanggan akan lari," kata Slamet.
Sama dengan Slamet, Retsa (29), juga mengeluhkan hal yang sama. Dia khawatir jika tarif PPN naik 12 persen akan membuat harga-harga semakin mahal.
"Sebelum PPN naik saja kopi sudah mahal, sekarang tambah mahal lagi. Jadi saya mulai beli alat kopi dan biji kopi di pasar yang lebih murah, supaya bisa tetap hemat," kata Retsa.
Untuk mengakalinya, Retsa mulai rajin masak di rumah dengan bahan-bahan yang dibeli dari pasar tradisional. Sebab, harga di pasar lebih murah dibandingkan di supermarket.
Dengan demikian, dia bisa tetap mengatur pengeluaran tanpa melampaui anggaran bulanan.
"Saya memang suka masak sendiri, dan bahan-bahan di pasar itu lebih murah. Selain itu, kita bisa pilih kualitasnya," kata dia.
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S. Lukman, mengungkapkan, kenaikan PPN berpotensi meningkatkan harga makanan dan minuman.
"PPN ini kan berantai, karena ada margin masing-masing mata rantai sehingga akan akumulasi, ujung-ujungnya kalau saya perkirakan akan naik di tingkat konsumen itu sekitar 2-3 persen (kenaikan harga) akibat kenaikan PPN itu," kata Adhi saat dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (19/12/2024).
Adhi juga khawatir bahwa dampak dari kenaikan PPN ini dapat menyebabkan penurunan penjualan produk makanan dan minuman.
Meski belum dapat menghitung secara pasti, dia menekankan bahwa hal ini terjadi di tengah daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.