Pelajaran dari Korea Selatan untuk Demokrasi Indonesia
PRESIDEN Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengambil langkah nekat pada 3 Desember 2024. Di tengah tekanan politik dan popularitas yang anjlok, ia memberlakukan darurat militer, melarang aktivitas politik dan memberi kendali penuh pada militer.
Namun, langkah itu hanya bertahan enam jam sebelum parlemen yang dikuasai oposisi mencabutnya.
Krisis ini menjadi ujian besar bagi demokrasi Korea Selatan. Namun, ia juga memberi gambaran kontras dengan kondisi di Indonesia.
Parlemen Korea Selatan mampu menjadi penyeimbang efektif. Sementara parlemen Indonesia justru telah lama kehilangan peran itu.
Dengan lebih dari 80 persen kursi DPR dikuasai koalisi pendukung presiden, checks and balances hanyalah mitos.
Marcus Mietzner (2023) menyebut presiden Indonesia sebagai "pembentuk koalisi super." Dengan kewenangan besar, presiden dapat mengonsolidasikan partai-partai di DPR, mengendalikan dinamika legislasi, dan memastikan hampir semua kebijakan berjalan tanpa hambatan.
Ini menciptakan ilusi stabilitas, tetapi sejatinya adalah ancaman bagi demokrasi.
Namun, dominasi presiden di Indonesia tidak berhenti pada parlemen. Polisi, militer, bahkan organisasi masyarakat keagamaan sering kali tunduk pada narasi kekuasaan eksekutif.
Ketika revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja disahkan, meskipun mendapat perlawanan publik masif, DPR tetap menjadi perpanjangan tangan presiden.
Bandingkan dengan Korea Selatan. Ketika Presiden Yoon memberlakukan darurat militer, oposisi di parlemen segera bertindak.
Mereka melampaui blokade militer, menggalang kuorum, dan membatalkan kebijakan itu dalam waktu kurang dari semalam.
Langkah ini tidak terjadi di ruang hampa; ia didukung oleh ribuan warga yang turun ke jalan, menolak langkah otoritarian presiden.
Dan Slater dan Joseph Wong (2022) menegaskan bahwa transisi demokrasi tidak hanya bergantung pada tekanan bawah, tetapi juga pada coalitional commitments—komitmen elite untuk meninggalkan otoritarianisme dan membangun konsensus.
Korea Selatan menunjukkan bagaimana elite politiknya tetap teguh pada komitmen ini meskipun kekuasaan eksekutif mencoba mengganggu tatanan.
Indonesia tidak memiliki kombinasi ini. Mobilisasi masyarakat sering kali terbatas pada reaksi spontan yang mudah dihentikan oleh represi negara.
Demonstrasi besar seperti aksi menolak revisi UU KPK pada 2019 adalah contoh nyata. Meskipun masif, gerakan ini tak menghasilkan perubahan karena lemahnya koneksi antara aksi publik dan pengambil kebijakan.
Polarisasi politik sejak Pilpres 2014 semakin memperburuk situasi. Alih-alih fokus pada isu substansial, masyarakat justru terjebak dalam perdebatan berbasis identitas.
Sementara itu, oposisi parlemen yang lemah gagal membangun solidaritas politik yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan kekuasaan presiden. Supremasi hukum tidak menjadi benteng terakhir.
Di Korea Selatan, parlemen tak hanya membatalkan darurat militer, tetapi juga memulai proses pemakzulan terhadap Presiden Yoon. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, bahkan terhadap kepala negara.
Di Indonesia, supremasi hukum sering kali tunduk pada kepentingan politik. Kasus intervensi MK, pelanggaran HAM berat, hingga revisi UU KPK menunjukkan bagaimana hukum dapat dinegosiasikan.
Namun, ancaman terbesar bagi demokrasi Indonesia adalah konsentrasi kekuasaan. Presiden tak hanya sebagai kepala eksekutif, tetapi juga pembentuk koalisi, pengendali legislatif, dan pengaruh besar di kepolisian serta militer.
Sistem ini menciptakan struktur di mana checks and balances tidak berfungsi. Dengan kekuasaan sebesar ini, siapa yang bisa menghentikan presiden jika ia mengambil langkah otoritarian?
Memperbaiki demokrasi Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar reformasi simbolis. Parlemen harus kembali merebut peran pengawasan dengan cara mengurangi ketergantungan partai pada patronase presiden.
Oposisi harus keluar dari jebakan transaksional yang membuatnya kehilangan nyali.
Namun, dengan sistem politik yang didominasi transaksi kekuasaan, harapan ini tampak semakin jauh.
Apakah masyarakat dapat menjadi benteng terakhir? Realitasnya, mobilisasi publik sering kali dilumpuhkan oleh represi dan fragmentasi isu.
Bahkan jika ada pendidikan politik yang masif, dampaknya akan tetap terbatas selama elite politik terus mengontrol narasi dan ruang publik.
Krisis Korea Selatan menunjukkan bahwa demokrasi hanya bertahan ketika parlemen, masyarakat, dan hukum bekerja bersama.
Celakanya, Indonesia tampaknya telah kehilangan ketiga elemen itu. Parlemen adalah alat eksekutif, masyarakat terpecah, dan hukum hanya menjadi alat kekuasaan.
Demokrasi Indonesia mungkin tengah menuju keruntuhan perlahan. Tanpa keberanian melawan dominasi eksekutif, kita hanya akan menyaksikan pembusukannya.
Harapan memang masih ada, tapi apakah kita siap membayar harga untuk mewujudkannya? Atau, kita akan terus menghibur diri dengan optimisme kosong sambil menunggu demokrasi benar-benar mati?