Pelaku Kejahatan Kerap Bawa Senjata, IPW Nilai Polisi Tetap Perlu Dibekali Senpi

Pelaku Kejahatan Kerap Bawa Senjata, IPW Nilai Polisi Tetap Perlu Dibekali Senpi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai bahwa usul agar polisi tidak dibekali senjata api (senpi) masih belum memungkinkan untuk diterapkan.

Menurut Sugeng, personel Polri tetap perlu dibekali senpi karena banyak pelaku kejahatan yang juga membawa senpi saat melakukan aksinya.

“Pelaku kejahatan kerap membawa senjata api seperti curanmor, perampokan, dan begal. Menurut saya, belum memungkinkan anggota Polri dilucuti senjatanya,” kata Sugeng dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Rabu (11/12/2024).

Sugeng menilai, dengan meningkatnya kasus kekerasan kriminal yang mengancam keselamatan masyarakat, tuntutan untuk melucuti senjata anggota Polri sama sekali tidak sejalan dengan kebutuhan mendesak untuk menjaga keamanan.

"Kondisi masyarakat kita dan meningkatnya kekerasan tindak pidana yang sangat brutal, belum memungkinkan jika senjata anggota Polri dilucuti,” ujar dia.

Sugeng menambahkan bahwa para pelaku kejahatan kerap kali sudah dilengkapi dengan senjata api yang dapat membahayakan nyawa masyarakat dan aparat.

Oleh karena itu, anggota Polri harus tetap dilengkapi dengan senjata untuk menghadapi ancaman tersebut.

Peneliti kebijakan publik dari Institute for Development of Policy and Local Partnerships (IDP-LP) Riko Noviantoro menambahkan, pelucutan senjata tidak dapat dilakukan dengan gegabah karena tantangan yang dihadapi Polri dalam menangani kasus kriminal konvensional masih sangat tinggi.

"Gagasan pelucutan senjata pada aparat kepolisian tidak bisa dilakukan seperti membalikkan telapak tangan karena perlu pertimbangan matang," ujar Riko.

Ia menekankan bahwa penanganan yang tegas melalui penggunaan senjata tetap diperlukan dalam situasi yang membahayakan.

Riko juga menegaskan bahwa jika terjadi pelanggaran terkait penggunaan senjata oleh polisi, hal tersebut harus dilihat sebagai kesalahan individu, bukan sebagai masalah sistemik atau institusional.

“Kasus itu harus dipandang sebagai persoalan disiplin personel. Maka perlu pendekatan pembinaan dan sanksi bagi pelanggaran, tapi bukan melucuti senjata api,"kata dia.

Riko menambahkan, untuk menjaga kredibilitas Polri dan keselamatan masyarakat, pengurangan kekuatan senjata bukanlah solusi yang tepat, melainkan perbaikan internal dan disiplin yang lebih ketat pada individu yang terlibat pelanggaran.

"Isu pelucutan senjata ini sama saja dengan upaya memperkecil kepolisian. Pelucutan senjata ini bukan pilihan yang tepat, kecuali protapnya yang diperkuat,” kata Riko.

“Jadi, seperti kasus di Semarang itu, jangan dijadikan alasan. Maling motor saja bawa senjata, tidak mungkin polisi tidak membawa senjata," ujar dia.

Diberitakan sebelumnya, Amnesty International Indonesia meminta agar DPR RI menggunakan haknya, sepert hak angket, interpelasi, dan menyatakan pendapat, untuk menyelidiki tanggung jawab kebijakan strategis polisi menyusul rentetan kasus kekerasan polisi sepanjang 2024 ini.

Salah satunya adalah evaluasi pemakaian senjata api. Teranyar, penggunaan senjata api secara tidak proporsional oleh Polri menewaskan Gamma, seorang remaja, di Semarang, Jawa Tengah.

"Pelaksanaan hak-hak DPR termasuk panggil Kapolri harus diarahkan pada evaluasi menyeluruh atas kebijakan penggunaan kekuatan dan juga senjata api maupun senjata ‘kurang mematikan’ sesuai prinsip HAM," kata Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, Senin (9/12/2024).

Sumber