Pemantik Korupsi Dinilai karena Perilaku Kotor Elite Politik, Bukan Sistem Pemilu Langsung
JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah menilai, faktor pemantik korupsi dalam pemilihan umum (pemilu) sejatinya berasal dari perilaku elite politik, bukan sistem pemilu.
Menurutnya, perilaku "kotor" elite partai-partai politik menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perilaku koruptif tumbuh subur dalam pemilu.
Hal ini disampaikan Hurriyah menanggapi wacana pemilihan tidak langsung yang dimunculkan Presiden Prabowo Subianto.
"Kalau dikaitkan dengan korupsi, banyak sekali kajian tentang korupsi di Indonesia memang memperlihatkan ada banyak faktor, salah satunya dan faktor utamanya sebenarnya memang adalah pada lagi-lagi perilaku partai politik dan politisi kita," kata Hurriyah saat dihubungi Kompas.com, Kamis (26/12/2024) malam.
Adapun perilaku koruptif yang dimaksud adalah menggunakan politik uang (money politics) untuk membeli suara demi memenangi kontestasi.
Bahkan, tak jarang partai menyuap penyelenggara pemilu untuk mengubah perolehan suara (voters trading). Cara-cara itu menjadi yang termudah ketika setiap calon pemimpin maupun legislatif tidak memiliki program unggulan dan tidak punya ideologi.
Perilaku semacam itu, kata Hurriyah, membuat masyarakat merasa terbiasa menerima sejumlah imbalan atau iming-iming saat pemilu, alih-alih melihat visi misi calon pemimpin.
Dengan kata lain, pragmatisme pemilih sedikit banyak dibentuk oleh politisi dan partai politik.
"Akhirnya menurut saya tidak bisa sepenuhnya disalahkan ke masyarakat. Mereka pakai cara mudah untuk mendapatkan dukungan masyarakat, yaitu membeli suara. Kan yang memulai vote buying itu siapa sih? Kan politisi. Mereka datang, enggak punya ciri pembeda karena setiap partai sama saja," tutur dia.
Hurriyah lantas menyinggung perjalanan dua sistem pemilu yang pernah diadopsi di Indonesia, yakni pemilu tidak langsung pada masa Orde Baru dan pemilu langsung pada era reformasi hingga saat ini.
Faktanya, dari dua sistem pemilu itu, perilaku koruptif yang membuat biaya politik mahal tetap terjadi.
"Apakah dua-duanya koruptif? Iya, dua-duanya koruptif. Di Orde Baru kita tahu, ada praktik korupsi. DPRD yang semestinya menjadi representasi rakyat, tetapi kan justru malah menjadi tukang stempel saja, DPR juga sama gitu, ya," tutur Hurriyah.
Artinya, lanjut dia, perilaku elite partai politik yang akan menentukan sistem pemilu berjalan bersih atau sebaliknya.
Oleh karenanya ia berpandangan, gagasan untuk mengubah sistem pemilu dari langsung menjadi tidak langsung perlu diubah.
Apalagi, dengan sistem pemilihan langsung yang melibatkan masyarakat saat ini, partai politik tetap tidak bisa lebih bertanggung jawab untuk mensejahterakan atau sekadar melunaskan janji kampanye.
"Apalagi kalau tidak ada mekanisme yang mengatur pertanggungjawaban partai tersebut. Jadi menurut saya ada kekeliruan berpikir di sini," jelas Hurriyah.
Lebih lanjut ia berpendapat, sistem pemilu dan pilkada langsung sudah berjalan cukup baik karena mampu memunculkan bibit-bibit atau figur kepemimpinan nasional dari daerah, terlepas masih banyaknya kelemahan dan berbagai masalah yang muncul.
Sebut saja mantan Wali Kota Solo yang menjadi Presiden ke-7 Joko Widodo, mantan Wali Kota Bandung yang menjadi Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, hingga Wali Kota Surabaya yang menjadi Menteri Sosial Tri Rismaharini.
"Pilkada kita berhasil memunculkan figur-figur dari daerah yang kemudian ternyata memperlihatkan mereka menjadi bibit pemimpin nasional. Ini menurut saya cukup baik dalam mendorong suksesi kepemimpinan nasional yang lebih pluralis. Kalau enggak ya muternya kan di situ saja," tandas dia.
Sebelumnya diberitakan, usulan mengubah sistem pemilu dari langsung menjadi tidak langsung beredar dalam beberapa tahun belakangan.
Terbaru, Presiden Prabowo Subianto mengusulkan gubernur hingga wali kota dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Kepala Negara membandingkan sistem politik Indonesia dengan negara tetangga, di mana negara seperti Malaysia, Singapura, dan India jauh lebih efisien pemilihannya.
Menurutnya, negara tetangga hanya melaksanakan pemilihan sebanyak satu kali, yakni untuk anggota DPRD-nya saja. Selebihnya, DPRD-lah yang memilih bupati hingga gubernur.
Prabowo lantas membandingkan dengan sistem pemilihan di Indonesia yang bisa menghabiskan anggaran triliunan rupiah dalam 1-2 hari saja.
Sementara, Mantan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD juga menilai pemilu tidak langsung atau lewat DPRD yang pernah terjadi di Indonesia berlangsung curang dan mahal.
Praktik jual beli kursi demi meraup dukungan nyata terjadi ketika kepala daerah masih dipilih oleh DPRD di era sebelum Reformasi.
Sebab, untuk dapat dicalonkan, seseorang tidak cukup hanya mengantongi dukungan partai politik, tetapi juga anggota dewan.
"Saudara masih ingat, sejak tahun 99, di mana pemilu belum serentak, pilkada belum serentak, lewat DPRD, itu jelas di situ jual beli kursi, agar orang bisa dapat dukungan, harga suara di DPRD (per kursinya) sebesar sekian," kata Mahfud dalam diskusi bertajuk "Plus Minus Pilkada Oleh DPRD", Senin (23/12/2024) malam.