Pembelajaran Coding yang Inklusif

Pembelajaran Coding yang Inklusif

Bersyukur beberapa kebijakan dan program strategis akan dibenahi dan diterapkan dalam bidang pendidikan. Salah satunya terkait pembelajaran yang selaras dengan dinamika era digital. Masih segar dalam ingatan, belum lama ini, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menggulirkan gagasan untuk menerapkan pembelajaran coding bagi siswa Sekolah Dasar. Gagasan ini telah digodok dengan para pihak sebagai bahan untuk diterapkan dalam pembelajaran pada tahun ajaran 2025/2026 sebagai materi pilihan.

Pembelajaran coding untuk usia pendidikan dasar sebenarnya bukanlah hal baru. Sekira enam tahun terakhir, banyak tempat les menawarkan jasa pembelajaran coding bahkan untuk anak usia di bawah lima tahun. Selain karena proyeksi dunia kerja saat ini dan masa datang yang membutuhkan tenaga unggul di bidang media digital, pembelajaran coding diyakini dapat mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, berpikir logis, terstruktur dan sistematis, serta kreatif. Dengan guru yang kompeten, dukungan positif dari pihak terkait, tentunya pembelajaran coding akan mendapati manfaatnya.

Learning for Transfer

Untuk melihat bagaimana hasil pendidikan kita, khususnya kompetensi guru dalam pembelajaran, hasil Program for International Student Assessment (PISA) dapat menjadi rujukan. PISA didesain untuk mengukur sejauh mana siswa pendidikan dasar disiapkan oleh sistem pendidikan negaranya, dalam mengaplikasikan konsep dan keterampilan yang dipelajari. Konsep ini mendorong ide learning for transfer, artinya siswa tidak hanya menguasai materi pembelajaran untuk tes, tetapi juga mampu menerapkan pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam kehidupan nyata.

Bagaimana hasil penilaian anak-anak berusia 15 tahun di Indonesia? Menurut rilis hasil penelitian PISA 2022 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), hasil rata-rata untuk ketiga kemampuan –matematika, membaca, dan sains– pada 2022 menunjukkan penurunan mencapai 12-13 poin dibandingkan 2018.Hampir tidak ada anak-anak Indonesia usia 15 tahun, sampel penelitian PISA 2022, memperoleh level 5 atau 6 dalam penilaian matematika, sains dan membaca. Dalam bidang matematika, level ini mencerminkan kemampuan memodelkan situasi tertentu secara matematik, dan memilih, membandingkan, serta mengevaluasi strategi pemecahan masalah yang relevan.

Di sisi lain, OECD menegaskan pentingnya menyiapkan pendidikan yang berkualitas terwujud pada 2030. Salah satunya adalah dengan pembelajaran yang membangun kemampuan fondasi, baik kognitif, sosial emosi maupun kesehatan. Khususnya yang terkait dengan kemampuan kognitif adalah kecakapan numerasi, literasi, termasuk di dalamnya literasi digital.

Merajut ide learning for transfer dengan tugas membangun kemampuan fondasi, maka guru diharapkan tidak hanya mengajarkan materi, namun mampu mentransformasi pembelajaran. Tidak hanya sekedar memahamkan, tetapi membuat anak terpanggil dan sanggup mengaplikasikan hasil belajar dalam realitas hidup sehari-hari.

Guru Kompeten

Sebagai landasan untuk penerapan pembelajaran yang transformatif tersebut, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikdasmen telah melatih lebih dari 6000 guru PAUD dan Sekolah Dasar dengan pelatihan mengenai Transisi PAUD ke SD. Di dalam pelatihan tersebut, guru diajak merefleksi dan mengambil aksi tentang bangunan kemampuan fondasi siswa sejak usia dini. Jika kemampuan fondasi ini terbangun dengan memadai sejak dini, siswa akan siap belajar di jenjang berikutnya dan mampu mentransformasi hasil belajar bagi pengembangan kapasitas dan pribadinya kelak.

Peningkatan kompetensi guru lainnya yang terkait adalah bagaimana menumbuhkan berpikir komputasional sejak usia dini. Dengan kemampuan ini, harapannya guru dapat memfasilitasi siswa untuk dapat berpikir logis, terstruktur dan sistematis sejak dini yang berguna sebagai cara memecahkan masalah. Sebagai alternatif cara untuk memecahkan masalah, dalam berpikir komputasional siswa ditumbuhkan kebiasaan untuk berpikir melalui empat tahapan sebagaimana diajarkan oleh Jeannette Wing; pertama, dekomposisi yakni memecahkan masalah atau sistem yang kompleks menjadi bagian yang lebih kecil dan lebih mudah dikelola.

Kedua, pengenalan pola yaitu mencari kesamaan pola dalam masalah tersebut. Selanjutnya ketiga, abstraksi yang diartikan sebagai kegiatan memusatkan perhatian pada informasi penting saja, dan mengabaikan detail yang tidak relevan. Ketiga, algoritma, yakni mengembangkan solusi langkah demi langkah terhadap permasalahan yang dihadapi atau peraturan yang harus diikuti untuk memecahkan masalah.

Dengan pembiasaan berpikir komputasional, siswa dilatih menjadi problem-solver dan kreatif dalam mencari cara menyelesaikan masalah. Coding sebagai salah satu materi dalam pelatihan Berpikir komputasional tersebut kini diterapkan dalam kelas-kelas PAUD "dengan" (plugged) atau "tanpa" (unplugged) menggunakan media digital. Guru banyak yang berinisiatif menerapkannya dalam pembelajaran berbasis permainan, pembiasaan perilaku positif, dan menggunakan bahan yang tersedia.

Dalam hal ini, coding yang secara sederhana diartikan sebagai tindakan menginstruksikan komputer melalui kode bahasa pemrograman, diambil hakikat pembelajarannya sebagai keterampilan mencipta sesuatu atau cara menemukan solusi.

Strategi Sinergis

Menakar pentingnya manfaat pembelajaran coding, maka pembelajaran ini baik jika diterapkan sejak jenjang PAUD. Selain itu, penerapannya yang tidak mengharuskan penggunaan perangkat digital, maka sarana atau fasilitas pendukung baik komputer maupun internet tidak akan menjadi kendala. Pembelajaran coding dapat menjadi pembelajaran yang inklusif, karena dapat diakses oleh siapapun.

Namun demikian, peningkatan kompetensi guru utamanya yang terkait dengan kompetensi membina kemampuan fondasi dan kompetensi teknis mengenai berpikir komputasional (termasuk di dalamnya coding) harus terus dilakukan dengan strategi tertentu.

Kerja sama dengan pemangku kepentingan pendidikan menjadi mutlak dilakukan untuk mengamplifikasi peningkatan kompetensi guru. Khususnya guru PAUD dan SD (utamanya kelas 1 dan 2) sebagai pengawal kemampuan fondasi siswa. Saat ini, guru PAUD sejumlah 460.204, sementara guru SD sebanyak 1.620.461 orang. Dengan jumlah dan luasnya jangkauan, strategi kolaborasi dapat berdampak tidak saja pada jumlah namun juga kualitas hasil yang dapat terjaga, sehingga terwujud ide learning for transfer dalam pembelajaran.

Sri Lestari Yuniarti bekerja di Direktorat Guru PAUD dan Dikmas Kemendikbudristek; alumnus University of Wollongong, Australia

Simak Video Prabowo Dukung Adanya Mata Pelajaran Coding Sejak SD

[Gambas Video 20detik]

Sumber