Pemeriksaan Budi Arie untuk Tentukan Tersangka Kasus Korupsi di Komdigi
JAKARTA, KOMPAS.com - Polisi mengungkapkan, pemeriksaan Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) periode 2023-2024 Budi Arie Setiadi untuk menentukan tersangka kasus korupsi yang melibatkan pegawai lembaga negara tersebut.
“Untuk membuat terang suatu tindak pidana guna menentukan siapa tersangkanya, maka pada Kamis 19 Desember, tim penyidik gabungan telah melakukan pemeriksaan terhadap BAS sebagai saksi,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi di Monas, Jakarta Pusat, Jumat (20/12/2024).
Pemeriksaan terhadap Budi Arie yang kini menjabat sebagai Menteri Koperasi tersebut berlangsung di Gedung Bareskrim Polri.
“BAS tiba di Gedung Bareskrim Polri pada pukul 10.50 WIB dan dilanjutkan dengan pemeriksaan atau permintaan keterangan terhadap yang bersangkutan dimulai pada pukul 11.10 WIB dan berakhir pada pukul 17.13 WIB,” ungkap dia.
Dalam pemeriksaan yang berlangsung selama enam jam ini, penyidik mencecar Budi Arie sebanyak 18 pertanyaan.
Adapun Budi Arie Setiadi mengungkapkan, dirinya begitu komitmen untuk menghilangkan praktik judi online (judol) di Indonesia.
"Saya menteri yang sangat serius memberantas judol," ungkap Budi Arie secara eksklusif kepada Kompas.com, Kamis (19/12/2024).
Di lain sisi, Budi Arie dengan tegas membantah soal dugaan keterlibatan dirinya dalam kasus beking judol di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Ia menekankan, tidak ada bukti soal dirinya maupun orang-orang yang di dekatnya terlibat dalam kasus beking judol Komdigi.
"Tidak ada indikasi apa pun yang bisa menyeret saya secara hukum. Tidak ada stafsus (staf khusus) saya yang terlibat. Tidak ada satu pun tenaga ahli saya yang terlibat. Tidak ada satu pun orang PROJO (Pro Jokowi) yang terlibat," jelas Budi Arie.
Lebih lanjut, Budi Arie menyampaikan bahwa dirinya tidak pernah membuat kesepakatan untuk melindungi judol.
"Tidak pernah ada perintah, baik lisan apalagi tertulis untuk melindungi judol. Tidak ada satupun situs judol yang saya larang di-takedown. Tidak ada aliran dana," pungkasnya.
Diketahui, penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya telah menetapkan 26 orang sebagai tersangka terkait skandal judi online yang melibatkan oknum pegawai di Kemenkomdigi.
Ke-26 tersangka tersebut memiliki peran masing-masing, mulai dari bandar, pemilik atau pengelola website, hingga agen pencari situs judi.
Selain itu, ada juga yang berperan sebagai penampung uang setoran dari agen hingga memverifikasi website judol agar tidak terblokir.
Padahal, Kementerian Komdigi sedianya memiliki kewenangan memblokir situs judi. Namun, mereka justru memanfaatkan wewenang tersebut untuk meraup keuntungan pribadi.
Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 303 KUHP tentang perjudian dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun, Pasal 45 Ayat (3) juncto Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun, serta Pasal 5 juncto Pasal 2 Ayat (1) huruf t dan huruf z UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun.
Setelah pengungkapan kasus ini, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto memastikan, pihaknya juga menyelidiki kasus dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) terhadap pegawai Kementerian Komdigi yang terlibat kasus perlindungan ribuan situs judi online (judol).
“Selaras dengan pengungkapan kasus tindak pidana perjudian, kami juga sedang mengusut dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum aparatur yang ada di Komdigi “ kata Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto di Polda Metro Jaya, Senin (25/11/2024).
Eks Wakapolda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu mengatakan, kasus ini ditangani oleh Subdit Tipidkor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya.
“Subdit Tipidkor Polda Metro Jaya telah melakukan permintaan keterangan terhadap 18 orang saksi,” ujar Karyoto.
Dalam kasus dugaan korupsi ini, para pihak yang terlibat disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11, dan/atau Pasal 12 huruf b juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, dan/atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.