Pemerintah Cari Tambahan Kas 2025 lewat Pinjaman Luar Negeri, Efek Tekanan PPN 12%?
Bisnis.com, JAKARTA — Penerimaan negara menghadapi tantangan pada tahun depan dan harus mengandalkan pinjaman, sejalan dengan kebutuhan berbagai program jumbo dan belanja perpajakan untuk insentif dalam meredam efek PPN 12%.
Pemerintah juga memutuskan untuk tetap menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dengan pengecualian terhadap tiga barang pokok penting (bapokting), yakni Minyak Kita, tepung terigu, dan gula industri—yang tetap 11% karena selisih 1% ditanggung pemerintah.
Tetap teguh dengan rencananya, pemerintah pada akhirnya menyiapkan insentif melalui paket kebijakan ekonomi 2025—utamanya insentif perpajakan—dengan anggaran sekitar Rp40 triliun.
Dengan kata lain, penerimaan yang seharusnya didapatkan pemerintah dari pajak, tetapi pajaknya ditanggung pemerintah. Sehingga pemerintah harus mengeluarkan belanja untuk membayar pajak terutang tersebut.
Imbasnya, penerimaan negara yang seharusnya berasal dari pungutan-pungutan tersebut, harus pemerintah tutup menggunakan utang berupa penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) maupun pinjaman luar negeri.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menyampaikan hal lumrah bila mana pemerintah mengambil pinjaman maupun utang untuk menutup kebutuhan belanja negara.
"Ketika penerimaan dari pajak tidak terpenuhi, sedangkan belanja APBN tetap harus dilakukan. Opsi berupa utang yang digunakan untuk menutupi defisit APBN sudah normal dilakukan setiap tahunnya," ujarnya, Selasa (17/12/2024).
Menurutnya, kebijakan belanja pajak tersebut hadir untuk menjaga daya beli masyarakat. Di satu sisi, pajak tetap terutang, akan tetapi dana untuk bayar pajak berasal dari pos belanja pajak. Secara tidak langsung pemerintah membantu cashflow masyarakat.
Dengan cara demikian, diharapkan masyarakat yang mendapatkan fasilitas pajak DTP dapat menambah konsumsi dalam negeri. Pada gilirannya, permintaan tetap terjaga dan produksi juga tetap jalan.
Meski harapannya PPN 12% yang menyasar barang premium/mewah akan mengisi Rp75 triliun penerimaan negara, namun rincian barang/jasa tersebut masih belum terbit.
Sebelumnya Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar memproyeksikan PPN dari barang mewah hanya akan menambah kas negara senilai Rp1,7 triliun.
Nilai itu jauh lebih kecil dari penerimaan yang diproyeksikan hilang senilai Rp80 triliun karena pembebasan PPN 12%.
Melihat struktur rencana pembiayaan utang dalam APBN 2025, terpantau memang terjadi kenaikan dari Rp648,1 triliun (2024) menjadi Rp775,87 triliun atau naik Rp127,77 triliun.
Untuk tahun depan, pemerintah tetap mengandalkan penerbitan SBN yang direncanakan senilai Rp642,56 triliun, turun dari APBN 2024 yang senilai Rp666,45 triliun.
Meski turun, angka tersebut terpantau naik dari outlook pemerintah 2024 yang memangkas rencana penerbitan SBN menjadi Rp451 triliun—dampak penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL).
Sebagai gantinya, pemerintah mencari tambahan untuk menutup defisit 2025 melalui pinjaman neto senilai Rp133,3 triliun yang terdiri dari pinjaman dalam negeri (neto) senilai Rp5,17 triliun dan pinjaman luar negeri (neto) Rp128,13 triliun.
Sementara secara bruto, penarikan pinjaman luar negeri mencapai Rp216,5 triliun. Membandingkan dengan APBN 2024, pinjaman luar negeri tahun depan terpantau naik signifikan hingga 219%.
Meski demikian bila membandingkan dengan outlook tahun ini, pinjaman (neto) hanya meningkat sejumlah Rp32,04 triliun.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto menyampaikan pemerintah memperbesar pinjaman dari bilateral maupun multilateral karena melihat risiko di pasar yang meningkat.
Terlebih, dinamika ekonomi dan geopolitik yang tinggi dapat berdampak pada pasar SBN.
“Kenapa naik? Pinjaman diperoleh dari kreditur bilateral dan multilateral yang cost of fund yang lebih tidak sensitif dengan pergerakan suku bunga di market,” ujarnya, dikutip pada Senin (16/12/2024).
Alasan lainnya, lanjut Suminto, yakni langkah penarikan pinjaman luar negeri sebagai komplemen dari SBN sehingga penerbitan SBN terus dapat dijaga pada level penerbitannya.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu memastikan dengan beragam insentif dan belanja tersebut tidak akan mengganggu postur defisit.
Dengan demikian, pemerintah tidak akan menambah pembiayaan APBN sejalan dengan adanya belanja tersebut.
“Enggak [pengaruh ke defisit], kami kelola APBN. APBN-nya kan belum mulai jadi kami kelola,” ujarnya kepada media massa, Senin (16/12/2024).