Pemerintah Diminta Belajar dari Kegagalan Negara Lain yang Naikkan PPN
JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Hikmah Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah berharap agar pemerintah bisa mengambil pelajaran dari kegagalan negara lain saat menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
LHKP Muhammadiyah mencontohkan, negara Jepang pernah menaikkan PPN dari 5 persen menajdi 8 persen pada 2014 yang justru menurunkan konsumsi rumah tangga di negara itu.
"Ketika Jepang menaikkan tarif PPN, pengeluaran konsumsi rumah tangga mengalami penurunan tajam," tulis LHKP Muhammadiyah dalam keterangan pers, Selasa (31/12/2024).
Konsumsi yang sebelumnya cepat dan menciptakan lonjakan ekonomi tiba-tiba menurun setelah PPN diterapkan.
Akibatnya, perekonomian Jepang melambat dan memaksa pemerintah menunda rencana kenaikan PPN.
"Situasi serupa terjadi di Eropa, yaitu ketika Jerman menaikkan tarif PPN dari 16 persen menjadi 19 persen pada 2007, konsumsi domestik menurun, meskipun ekonomi Jerman secara keseluruhan mampu mengatasi dampak jangka pendek berkat ekspor yang kuat," tulis LHKP Muhammadiyah.
Dampak paling kuat dirasakan Spanyol saat menaikkan PPN dari 16 persen menjadi 18 persen pada 2010, kemudian kembali menaikkan menjadi 21 persen pada 2012.
Kebijakan tersebut justru memperburuk resesi yang sedang berlangsung di negara tersebut.
"Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah merasakan dampak paling besar, sementara pemulihan ekonomi menjadi lebih lambat," tulis LHKP Muhammadiyah.
Sebab itu, salah satu rekomendasi yang dikeluarkan oleh LHKP Muhammadiyah adalah meminta pemerintah membatalkan kenaikan PPN dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Sebagai informasi, pemerintah akan menaikkan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen terhitung 1 Januari 2025.
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengatakan, kenaikan PPN diperlukan sebagai upaya meningkatkan penerimaan negara guna mendukung stabilitas ekonomi nasional.
"Kenaikan itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Langkah ini bertujuan menjaga keseimbangan fiskal di tengah tantangan ekonomi global," kata dia dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (16/12/2024).
Sri Mulyani mengatakan, kebijakan kenaikan PPN bersifat selektif dan hanya menyasar barang dan jasa kategori mewah atau premium.
Mengutip kemenkeu.go.id, barang dan jasa kategori mewah atau premium itu seperti kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan berstandar internasional yang berbiaya mahal.
Sri Mulyani mengeklaim, setiap melakukan pemungutan pajak, pemerintah selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong-royong.
“Disebut berkeadilan karena kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir,” kata dia.