Pemerintah Incar Shadow Economy Dikenai Pajak, Bagaimana Caranya?

Pemerintah Incar Shadow Economy Dikenai Pajak, Bagaimana Caranya?

Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu ingin aktivitas ekonomi bayangan atau shadow economy turut dikenai pajak. Ekonom berpendapat, pemerintah harus mempunyai strategi mempuni apabila memang ingin memaksimalkan penerimaan pajak dari aktivitas shadow economy.

Shadow economy biasanya identik dengan kegiatan illegal dan memiliki perputaran uang yang besar. Berdasarkan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tingkat shadow economy di Indonesia mencapai 30-40% dari nilai PDB. Jika, mengacu pada PDB tahun 2020 yang nilainya sebesar Rp20.892,4 triliun , artinya nilai shadow economy mencapai Rp6.000 triliun. Contoh bisnis ini seperti peminjaman uang tanpa melalui bank, judi, hingga prostitusi.  

Direktur Riset dan Konsultasi Fiskal Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai pemerintah perlu mengikis shadow economy dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak.

"Size dari shadow economy di Indonesia diperkirakan relatif besar. Misal berdasar Medina dan Schneider (2018), shadow economy di Indonesia bisa mencapai 26.6% dari PDB," ujar Bawono kepada Bisnis, Senin (28/10/2024).

Oleh sebab itu, sambungnya, potensi penerima pajak dari shadow economy sangat besar. Kendati demikian, dia menilai pemerintah punya pekerjaan rumah yang tidak sedikit.

Bawono menilai, pertama-tama pemerintah harus mengidentifikasi berbagai aktivitas shadow economy. Caranya, bisa melalui sistem identitas yang terpadu.

"Adanya pemadanan NIK/NPWP, pertukaran informasi dengan lembaga lain, serta coretax system bisa menjadi peluang integrasi data yang lebih tajam serta memetakan aktivitas-aktivitas yang selama ini belum sepenuhnya terdeteksi dan/atau dilaporkan kepada otoritas," jelasnya.

Sebagai informasi, keinginan pemerintah memajaki aktivitas shadow economy diungkapkan langsung oleh Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu. Secara khusus, Anggito menyoroti aktivitas judi online.

Dia menjelaskan, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang melakukan judi dengan bertaruh secara daring atau online betting seperti bertaruh soal skor sepak bola klub-klub Inggris maupun judi-judi dalam bentuk lainnya.

Masalahnya, sambung Anggito, masyarakat yang melakukan aktivitas shadow economy tersebut tidak melaporkan harta yang didapatkannya. Oleh sebab itu, dia mendorong Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) untuk lebih mengawasi aktivitas shadow economy tersebut.

"Sudah enggak kena denda, dianggap tidak haram, enggak bayar pajak lagi. Padahal kan dia menang itu. Kalau dia dapat winning itu kan nambah PPh [Pajak Penghasilan]," ungkapnya dalam Rapat Terbuka Senat Puncak Dies Natalis ke-15 & Lustrum III Sekolah Vokasi UGM Tahun 2024, Senin (28/10/2024).

Anggito menyebutkan bahwa penghasilan yang didapatkan dari kegiatan tersebut tidak terekam radar pajak. Padahal, pendapatan pajak yang tidak tertagih dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghambat pembuatan program-program publik.

Bahkan, persoalan tersebut menjadi pembahasan dalam kegiatan retreat yang diselenggarakan Presiden Prabowo Subianto bersama menteri-menterinya di Magelang pada akhir pekan lalu.

"Kita membuka mata bahwa sebenarnya banyak underground economy yang tidak terdaftar, tidak terekam, dan tidak bayar pajak. Jadi yang kaya gitu yang kita ambil," jelas Anggito.

Sumber