Pemerintah Utak-atik APBN 2025 saat Gelontorkan Insentif Rp40 Triliun PPN 12%
Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tidak berencana untuk menambah alokasi belanja dalam APBN dengan hadirnya paket kebijakan ekonomi 2025 senilai Rp40 triliun untuk meredam kenaikan tarif PPN 12%.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyatakan bahwa kebijakan yang akan berlaku per 1 Januari 2025 tersebut akan berasal dari anggaran yang telah tersusun dalam APBN 2025.
Dengan demikian, pemerintah tidak akan menambah pembiayaan APBN sejalan dengan adanya belanja tersebut.
"Enggak [pengaruh ke defisit], kami kelola APBN. APBN-nya kan belum mulai jadi kami kelola," ujarnya kepada media massa, Senin (16/12/2024).
Adapun Febrio tidak menyebutkan secara spesifik asal anggaran tersebut, apakah dari kas bendahara negara maupun pos lainnya.
Pasalnya pemerintah telah menargetkan rencana defisit atau pembiayaan APBN 2025 di level 2,53% terhadap produk domestik bruto (PDB) atau setara dengan Rp616,2 triliun.
Sementara rencana belanja negara pada tahun depan akan mencapai Rp3.621,3 triliun dengan pendapatan negara senilai Rp3.005,1 triliun.
"Penerimaan akan terus kami pantau," tuturnya.
Setidaknya pemerintah menyiapkan 15 insentif untuk meredam kenaikan PPN menjadi 12%—kecuali barang pokok penting (bapokting) Minyak Kita, tepung terigu, dan gula industri tetap 11% (1% ditanggung pemerintah).
Insentif tersebut diberikan kepada rumah tangga, kelas menengah, hingga dunia usaha. Di mana kelas menengah mendapatkan guyuran insentif terbanyak mulai dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 DTP hingga diskon iuran BPJS Ketenagakerjaan.
Sebagai gantinnya, pemerintah menarik pungutan terhadap barang dan jasa tertentu, yakni yang tergolong mewah atau premium untuk menambal penerimaan negara.