Pemprov Jakarta Bantah Pelantikan Pejabat Terkait Pembagian Bansos Jelang Pilkada

Pemprov Jakarta Bantah Pelantikan Pejabat Terkait Pembagian Bansos Jelang Pilkada

JAKARTA, KOMPAS.com - Penjabat (Pj) Gubernur Jakarta Teguh Setyabudi memastikan tak ada faktor yang bersifat pribadi dan transaksional dalam pelantikan 305 pejabat Pemprov Jakarta.

Menurut dia, para pejabat itu telah melewati proses seleksi yang ketat serta melalui persetujuan sesuai kompetensi dan pengalaman.

Proses ini dimulai sejak awal Agustus 2024 yang diajukan Pj Gubernur Jakarta sebelumnya, Heru Budi Hartono, ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

"Proses pelantikan sudah mengalami proses yang lama, sejak Agustus lalu," kata Teguh dalam keterangannya, Jumat (15/11/2024).

Teguh mengatakan, proses seleksi tidak instan. Dia memastikan seleksi telah dilakukan sesuai standard operating procedur (SOP).

"Tidak ada faktor like dan dislike, tidak ada faktor transaksional. Apabila ditemukan faktor itu, silakan Bapak dan Ibu bisa melaporkannya," kata dia.

Teguh menuturkan, pelantikan 305 pejabat administrator, pengawas dan ketua subkelompok (kasubkel) sudah melalui proses yang lama dengan melihat kebutuhan mendesak.

"Pengangkatan, pemberhentian, mutasi maupun promosi merupakan suatu sisi kebutuhan organisasi dan penyegaran bagi pejabat serta telah mendapat persetujuan dari Kemendagri," kata Teguh.

"Jadi, bukan suatu proses instan melainkan sesuai SOP dan kewenangan," imbuh dia.

Sebelumnya diberitakan, anggota DPRD Fraksi PDI-P, Dwi Rio Sambodo menyebut, pelantikan 305 pejabat eselon III dan IV di lingkungan Pemprov Jakarta dicurigai berkaitan dengan politisasi bantuan sosial (bansos).

Pasalnya, pelantikan para pejabat Pemprov itu digelar menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jakarta 2024.

"Jika demikian, ada dugaan kuat hal ini berkaitan dengan motif politisasi pendistribusian bantuan sosial (bansos) kepada warga untuk Pilkada Jakarta 2024 mendatang," ujar Dwi Rio, Jumat.

Dwi Rio menuturkan, berdasarkan aturan, disebutkan bahwa mutasi tanpa persetujuan Kementerian Dalam Negeri merupakan tindak pidana.

Aturan itu juga merujuk pada Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

"Disebutkan bahwa pejabat pemerintahan yang terbukti menyalahgunakan wewenang dapat dikenakan sanksi administrasi berat," imbuh dia.

Larangan kepala daerah merotasi anak buahnya menjelang Pilkada itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada.

Ada dua pasal, yakni Pasal 71 ayat (2) dan 162 ayat (3) dalam undang-undang tersebut yang melarang setiap kepala daerah merotasi pejabat menjelang pelaksanaan kontestasi politik daerah, termasuk di Jakarta.

Pasal 71 ayat (2) berbunyi, "Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota dilarang melakukan penggatian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri".

"Jadi (larangan merotasi pejabat itu) enam bulan sebelum penetapan pasangan calon (kepala daerah), bukan enam bulan sebelum pencoblosan," kata Sakhroji.

Sementara itu, Pasal 162 ayat (3) berbunyi, "Gubernur, Bupati, atau Walikota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri".

Dengan demikian, kepala daerah atau penjabat kepala daerah yang melakukan mutasi pejabat menjelang Pilkada 2024 berpotensi akan disanksi pidana, sebagaimana yang tertuang pada Pasal 190 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Pasal 190 berbunyi "Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau Pasal 162 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000 atau paling banyak Rp 6.000.000".

Sumber