Pendidikan Politik dan Demokrasi yang Efisien
PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto tentang mahalnya biaya pelaksanaan Pilkada dan rendahnya partisipasi pemilih membuka ruang diskusi penting, tetapi juga memantik kritik yang tidak kalah tajam.
Pada dasarnya, demokrasi membutuhkan biaya. Namun, biaya tinggi tanpa diimbangi partisipasi yang signifikan bukan hanya menunjukkan inefisiensi sistem, tetapi juga kegagalan mendasar dalam pendidikan politik di tingkat masyarakat.
Hal ini menyoroti peran partai politik, yang semestinya menjadi garda terdepan dalam pendidikan politik rakyat.
Dalam konteks ini, kritik perlu diarahkan pada kegagalan institusi politik dalam memenuhi mandat Undang-undang yang jelas-jelas mengamanatkan partai politik untuk melakukan pendidikan politik secara terstruktur dan masif.
Jika pendidikan politik dilakukan dengan benar, apakah partisipasi pemilih akan tetap serendah ini? Ataukah justru kita menghadapi masalah yang lebih mendasar dalam tata kelola politik kita?
Pilkada seharusnya menjadi pesta demokrasi menggembirakan. Namun kenyataannya seringkali berubah menjadi perhelatan mahal yang tidak efisien.
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), biaya penyelenggaraan Pilkada di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara tingkat partisipasi pemilih tidak menunjukkan lonjakan signifikan.
Bahkan, dalam beberapa kasus, angka partisipasi justru menurun. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar apakah mekanisme Pilkada yang kita gunakan benar-benar efektif dalam menciptakan pemerintahan yang representatif?
Prabowo benar ketika menyebut mahalnya Pilkada, tetapi kurang menggali persoalan secara mendalam.
Biaya tinggi ini seharusnya menjadi alarm untuk mengevaluasi desain sistem Pilkada kita, mulai dari teknis pelaksanaan hingga pendekatan partisipasi masyarakat.
Mengapa politik uang masih menjadi momok yang sulit diberantas? Mengapa masyarakat masih melihat politik sebagai arena elite yang jauh dari realitas mereka?
Semua ini menunjukkan perlunya reformasi menyeluruh, bukan hanya soal biaya, tetapi juga pendekatan politik yang lebih humanis dan memberdayakan.
Namun, mahalnya biaya Pilkada bukanlah satu-satunya persoalan; ada pula isu mendasar tentang kualitas hasil dari proses demokrasi tersebut.
Tingginya pengeluaran kampanye sering kali menciptakan ketergantungan calon kepala daerah pada donatur besar, pada akhirnya dapat memengaruhi independensi kebijakan publik mereka.
Selain itu, praktik politik uang semakin memperparah situasi, menciptakan lingkaran setan di mana masyarakat tidak lagi memandang suara mereka sebagai alat perubahan, melainkan hanya sebagai komoditas.
Situasi ini menggerus kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi, yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam membangun pemerintahan yang kuat dan berintegritas.
Oleh karena itu, reformasi Pilkada tidak hanya menuntut efisiensi biaya, tetapi juga perbaikan sistem yang dapat mengembalikan esensi demokrasi sebagai alat partisipasi rakyat, bukan sekadar formalitas prosedural.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan jelas mengatur bahwa partai politik memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan politik.
Namun, bagaimana implementasinya di lapangan? Alih-alih mendidik masyarakat untuk memahami hak dan tanggung jawab politik mereka, partai politik sering kali lebih sibuk dengan konsolidasi internal dan perebutan kekuasaan.
Pendidikan politik yang semestinya menjadi instrumen pemberdayaan justru berubah menjadi alat propaganda partisan.
Tidak heran jika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap politik. Ketika partai politik gagal menjalankan fungsi pendidikannya, masyarakat teralienasi dari proses politik.
Mereka hanya didekati saat kampanye, dengan janji-janji yang sering kali tidak terealisasi. Akibatnya, demokrasi kita menjadi transaksional, dengan uang sebagai penggerak utama, bukan ide atau visi yang kuat.
Reformasi pendidikan politik oleh partai politik menjadi kebutuhan mendesak. Tanpa ini, demokrasi akan terus menjadi mesin yang mahal tetapi tidak efisien.
Penting juga untuk menyoroti bahwa kegagalan partai politik dalam menjalankan pendidikan politik tidak hanya berdampak pada alienasi masyarakat, tetapi juga menciptakan ruang bagi politik identitas dan disinformasi untuk tumbuh subur.
Ketidaktahuan masyarakat tentang hak-hak politik mereka membuat mereka rentan terhadap manipulasi isu-isu emosional dan sektarian yang sering digunakan untuk memenangkan suara.
Ini bukan hanya ancaman terhadap demokrasi, tetapi juga terhadap persatuan sosial bangsa. Dengan membangun kembali komitmen untuk pendidikan politik yang inklusif dan berorientasi pada nilai-nilai kebangsaan, partai politik dapat menjadi katalisator perubahan positif dan memperkuat legitimasi demokrasi di Indonesia.
Solusi atas rendahnya partisipasi dan mahalnya biaya Pilkada bukan hanya terletak pada reformasi sistem, tetapi juga pada perubahan paradigma dalam pendidikan politik.
Pendidikan politik tidak boleh lagi menjadi sekadar slogan. Pemerintah, partai politik, dan masyarakat sipil harus berkolaborasi untuk menciptakan program-program pendidikan politik yang inklusif, berkelanjutan, dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah memanfaatkan teknologi digital untuk mendekatkan politik kepada generasi muda. Platform digital dapat digunakan untuk menyebarkan informasi politik yang mendidik, transparan, dan menarik.
Selain itu, penguatan peran organisasi masyarakat sipil juga penting untuk menjembatani kesenjangan antara masyarakat dan institusi politik.
Dengan demikian, partisipasi politik tidak lagi dilihat sebagai beban, tetapi sebagai hak dan kesempatan untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan.
Pernyataan Prabowo tentang mahalnya biaya Pilkada dan rendahnya partisipasi pemilih adalah cerminan masalah yang lebih besar dalam demokrasi kita.
Namun, solusi atas persoalan ini tidak akan ditemukan dengan hanya mengurangi biaya atau meningkatkan partisipasi secara artifisial.
Yang kita butuhkan adalah demokrasi yang lebih partisipatif, efisien, dan didukung oleh pendidikan politik yang substantif.
Partai politik harus kembali kepada mandat mereka sebagai pendidik masyarakat, sementara pemerintah dan masyarakat sipil harus bergandengan tangan untuk menciptakan budaya politik yang sehat.
Hanya dengan cara ini, kita dapat mewujudkan demokrasi yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat, bukan sekadar formalitas yang mahal.