Penegakan Hukum dan Aktivisme Publik

Penegakan Hukum dan Aktivisme Publik

NO viral no justice adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan realitas penegakan hukum hari ini.

Tanpa atensi dan tekanan publik, penegakan hukum terhadap kasus-kasus besar yang melibatkan orang-orang besar tenggelam begitu saja.

Sudah banyak kasus-kasus besar yang melibatkan orang-orang besar terungkap. Kasus pembunuhan terhadap Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat yang dilakukan oleh Ferdy Sambo berhasil terungkap atas desakan dan kontrol publik.

Kasus ini bahkan melibatkan orang-orang di petinggi Polri dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap kepolisian sebagai salah satu institusi penegak hukum.

Kasus kekerasan anak pegawai pajak, Mario Dandy, dengan gaya hidup mewah (hedon) menyeret orangtuanya. Kasus Mario Dendy berhasil membuka kasus pencucian uang oleh orangtuanya di perpajakan.

Kasus diskriminasi guru di Sulawesi Tenggara, Supriyani, dituduh memukul murid dan dilaporkan oleh orangtua murid kepada polisi tak kalah memantik perhatian publik.

Di NTB, kasus yang sedang menjadi perhatian publik adalah kasus narkoba. Kasus ini menjadi heboh karena diduga kuat melibatkan beberapa oknum anggota legislatif lokal dan oknum di petinggi "partai coklat".

Tentu saja dampak narkoba sangat merusak generasi dan masyarakat kita. Itulah yang membuat publik resah dengan peredaran narkoba selama ini.

Mudah-mudahan kasus ini tidak hanya hebohnya saja di publik, tetapi juga harus ada tindakan dan penyelesaian hukumnya.

Fakta sejumlah kasus selama ini, tanpa perhatian publik, kasus-kasus besar yang melibatkan orang-orang besar sulit terungkap, terselesaikan, dan mendapatkan keadilan.

Jadi, keadilan bukan karena murni penegakan hukum, tetapi karena atensi dan tekanan publik. Padahal, penegak hukum seharusnya menjamin keadilan dalam penegakan hukum.

Ironisnya, kasus-kasus hukum ini tak jarang melibatkan penegak hukum sebagai pelakunya. Inilah yang membuat kepercayaan publik terhadap institusi hukum dan penegak(an) hukum runtuh.

Studi Donald Black (1993), respons, proses penegakan hukum, dan putusan pengadilan di Amerika Serikat (AS) tergantung kelas dan ras seseorang.

Ketika seseorang yang status sosialnya rendah atau seorang kulit hitam melakukan tindak pidana, maka respons penegak hukum cepat dan vonis tinggi di pengadilan.

Sebaliknya, ketika seseorang yang status sosialnya tinggi atau seorang kulit putih melakukan tindak pidana, maka respons penegak hukum lambat dan putusan pengadilan rendah.

Di Indonesia, tampaknya penegakan hukum hampir sama dengan di AS. Hanya saja lokal kultur, sosial, dan politik yang berbeda. Sedikit lebih kompleks dan "brutal".

Penegakan hukum di Indonesia apabila tindak pidana dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan atau punya relasi kuasa dan orang yang memiliki ekonomi kuat, maka penegakan hukum dan putusan pengadilan rendah. Ini terjadi pada kasus-kasus korupsi.

Sebaliknya, apabila tindak pidana dilakukan oleh "orang biasa" atau "orang kecil" dan orang yang memiliki ekonomi lemah, maka penegakan hukum dan putusan hakim tinggi. Ini terjadi pada kasus-kasus pencurian seperti pencurian buah, beberapa potong kayu.

Jika di AS penegakan hukum tergantung kelas dan ras, maka di Indonesia penegakan hukum tergantung status quo.

Dalam dunia hukum, tindak pidana dapat dipahami sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam oleh hukum pidana.

Pandangan ini tentu tak salah. Namun, pandangan ini sangat normatif, kaku, dan terkadang "keliru dalam penyelesaian masalahnya".

Akibatnya, tindak pidana hanya sekadar melihat ada kasus, lalu dicarikan pasal-pasalnya, kemudian bangun argumentasi hukumnya.

Jika demikian pandangan hukumnya, maka pandangan ini tak akan mampu menjawab seluruh persoalan yang ada.

Tentu sebagai persoalan hukum, maka harus diselesaikan secara hukum. Namun, pertanyaan sosiologisnya adalah, apa yang membuat orang melakukan tindak pidana atau tindak kriminal?

Jika seseorang melakukan tindak kriminal karena faktor ekonomi atau karena pendidikannya kurang baik, maka yang harus dipenuhi dan diperbaiki adalah ekonomi dan pendidikannya. Bukan semata-mata persoalan hukumnya.

Jika ekonomi dan pendidikan masyarakat baik, maka angka kriminalitas setidak-tidaknya menurun atau bisa dihilangkan.

Dengan demikian, tak perlu lagi kita menghabiskan anggaran negara untuk membiayai penanganan kasus kriminalitas, rekrut polisi banyak-banyak, bangun pos-pos keamanan (Polsek), bangun infrastruktur penjara, dan biaya untuk para tahanan/napi.

Kenapa anggaran itu tak disalurkan untuk membiayai pendidikan dan ekonomi masyarakat? Di sinilah perlunya intervensi politik untuk memperbaiki pendidikan dan ekonomi masyarakat.

Dengan demikian, secara tidak langsung pemerintah telah berupaya menurunkan angka kriminalitas atau menghilangkan kriminalitas. Semoga saja!

Sumber