Penerapan Presidential Threshold dari Pemilu 2004 hingga Dihapus oleh MK
JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold yang termaktub dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Diketahui, aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik terakhir adalah paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Pasal 222 UU Pemilu berbunyi, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya”.
Lantas, bagaimana ketetapan mengenai besaran presidential threshold dalam pemilu-pemilu sebelumnya?
Presidential threshold pertama kali diterapkan pada Pemilu 2004 atau Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung pertama.
Saat itu, besaran ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Tepatnya termaktub dalam Pasal 5 ayat (4) yang berbunyi, "Pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu DPR".
Dalam pilpres secara langsung perdana tersebut ada empat pasangan calon presiden dan wakil presiden, yakni Wiranto-Salahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Amies Rais-Siswono Yudo Husodo, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla.
Pilpres yang akhirnya berlangsung dua putaran tersebut akhirnya dimenangkan oleh pasangan SBY-Jusuf Kalla.
Aturan mengenai presidential threshold kembali diterapkan pada pemilu atau Pilpres 2009.
Namun, ada perubahan besaran ambang batas karena revisi undang-undang menjadi UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Presidential threshold menjadi 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.
Akibatnya, partai politik atau gabungan partai politik bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden jika memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.
Dengan ketentuan tersebut, ada tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yakni Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, SBY-Budiono, dan Jusuf Kalla-Wiranto.
Pilpres 2009 dimenangkan oleh SBY-Budiono dengan perolehan suara 60,80 persen.
UU Nomor 42 Tahun 2008 tetap menjadi acuan dalam penyelenggaraan Pemilu 2014. Sehingga, aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden tetap sama dengan Pilpres 2009.
Partai politik atau gabungan partai politik bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden jika memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.
Pada Pilpres 2019, ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yakni Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Jokowi-JK berhasil keluar menjadi pemenang dengan perolehan suara 53,15 persen. Sedangkan, Prabowo-Hatta memeroleh 46,85 persen suara.
Pada gelaran Pemilu 2019, UU Pemilu yang menjadi acuan berubah menjadi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Berubahnya UU Pemilu juga mengubah aturan mengenai presidential threshold. Pasalnya, Pemilu 2019 juga berbeda dari pemilu sebelumnya, yakni pilpres dan pemilihan legislatif (pileg) dilakukan secara bersamaan.
Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Mengikuti ketentuan presidential threshold, Pilpres 2019 hanya diikuti oleh dua pasangan calon yakni Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno.
Hasilnya, Jokowi-Ma’ruf keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara 55,50 persen mengalahkan Prabowo-Sandiaga yang mengantongi 44,50 persen suara.
Pada Pemilu 2024, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden masih mengikuti ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017.
Dengan demikian, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Mengikuti ketentuan presidential threshold tersebut, ada tiga pasangan calon yang maju pada Pilpres 2024, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Berdasarkan rekapitulasi penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Prabowo-Gibran keluar sebagai pemenang dengan perolehan 96.214.691 suara atau sekitar 58,58 persen dari seluruh suara sah nasional.
Sementara itu, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar memeroleh 40.971.906 suara atau sekitar 24,95 persen suara sah nasional. Sedangkan Ganjar Pranowo-Mahfud MD hanya mendapatkan 27.040.878 suara atau sekitar 16,47 persen dari seluruh suara sah nasional.