Pengacara: Ria Agustina Tidak Pernah Mengaku Dokter, tapi Ahli Kecantikan
JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa hukum tersangka Ria Agustina (33), Raden Ariya mengeklaim, kliennya tidak pernah mengaku sebagai seorang dokter kepada pelanggan yang menjalani perawatan di Ria Beauty. Raden bilang, sejak awal kliennya mengaku sebagai ahli kecantikan.
“Klien kami itu tidak pernah menyatakan dirinya bahwa beliau itu adalah dokter. Beliau itu adalah ahli kecantikan. Beliau itu mempelajari terkait estetik, terkait derma roller itu,” kata Raden di Polda Metro Jaya, Senin (9/12/2024).
Raden juga mengeklaim, dalam menangani pelanggan yang treatment derma roller di Ria Beauty, kliennya tidak sembarangan atau sekadar belajar dari Youtube.
Katanya, Ria mengantongi sertifikat yang diterbitkan oleh berbagai lembaga, baik dalam maupun luar negeri.
“Jadi bukan sertifikat yang abal-abal. Jadi, terkait derma roller itu, beliau sudah mempelajari sangat baik,” tegasnya.
Raden juga berujar, Ria memang tidak membuka klinik kecantikan, melainkan salon.
“Karena benar, beliau bukan dokter. Dalam biodata di Instagram, beliau itu adalah tabib kecantikan atau bukan dokter, bukan dokter,” kata Raden.
“Dia itu menyampaikan berkali-kali ke customer, ke pasiennya bahwa dia itu bukan dokter. Tapi kalau pasiennya memanggil dia dokter, ya terserah. Orang memanggil apa kan terserah,” tambah Raden lagi.
Diberitakan sebelumnya, penyidik Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya menangkap pemilik Ria Beauty, Ria Agustina (33), dan karyawannya, DN (58), di kamar salah satu hotel kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (1/12/2024).
Ria dan DN ditangkap saat keduanya sedang memberikan layanan kecantikan terhadap tujuh pasien di kamar hotel 2028.
Ria ditangkap lantaran alat yang digunakan untuk treatment derma roller tidak mempunyai izin edar.
Tidak hanya itu, krim anestesi dan serum yang diberikan kepada pelanggan (korban) Ria Beauty juga ternyata tidak terdaftar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Ria dan DN melangsungkan praktik sebagai tenaga medis yang memiliki surat standar registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP), padahal tidak.
Keduanya diduga melanggar Pasal 435 jo Pasal 138 ayat (2) dan/atau ayat (3), serta/atau Pasal 439 jo Pasal 441 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.