Pengacara Tom Lembong: Kami Baca Temuan BPK, Tak Ada Kerugian Negara

Pengacara Tom Lembong: Kami Baca Temuan BPK, Tak Ada Kerugian Negara

Pihak kuasa hukum eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, menyinggung soal kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi impor gula yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung). Ari mengklaim tak ada bukti-bukti terkait kerugian negara.

"Tentang kerugian negara, selalu dikatakan bahwa ini sudah ada temuan BPK, kerugian negara. Sampai saat ini, temuan BPK yang kami baca tidak menunjukkan adanya kerugian negara dalam kebijakan yang diambil tersebut," ungkap kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (5/11/2024).

Ari berpendapat temuan BPK hanya menerangkan hal-hal yang salah dan meminta perbaikan untuk menegur Dirjen Perdagangan Luar Negeri dan Direktur Import. Dia lantas mempertanyakan kerugian negara yang dimaksud.

"Jadi kalau dikatakan kerugian negara, kerugian negara dari mana? Karena Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang korupsi itu, delik materiil yang betul-betul harus dijelaskan secara limitatif. Tentang actual loss, kerugian negaranya," sebut Ari Yusuf.

"Nah, sampai saat ini kerugian negara yang dimaksud belum jelas. Katanya ada angka Rp 400 miliar, temuan dari siapa? Bagaimana temuannya? Karena dalam putusan Mahkamah Konstitusi sudah dijelaskan. Tidak boleh lagi dalam menyidik perkara korupsi disebutkan tentang potensial loss. Itu tidak boleh lagi. Tapi harus actual loss, kerugian yang nyata," pungkasnya.

Kejagung Jelaskan Regulasi yang Ditekan Tol Lembong Rugikan Negara

Status tersangka kepada Tom Lembong terkait dugaan korupsi impor gula menyita perhatian. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan status tersangka korupsi di kasus Tom Lembong tidak harus selalu disertai bukti penerimaan aliran uang.

Dalam kasus ini Tom Lembong dijerat dengan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang kerugian negara. Kejagung menilai regulasi yang telah diteken Tom telah merugikan negara, meski saat ini aliran uang korupsi ke Tom Lembong masih diusut.

"Apakah harus ada aliran dana dulu baru disebut sebagai tindak pidana korupsi," kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar saat dikonfirmasi, Kamis (31/10).

Harli mengatakan dari bukti yang didapatkan, penyidik telah meyakini adanya perbuatan korupsi berupa merugikan keuangan negara yang dilakukan Tom Lembong. Kejagung menyinggung aturan yang diteken Tom Lembong kemudian berujung pada delapan perusahaan swasta bisa melakukan impor gula kristal mentah yang mestinya hal itu tidak bisa dilakukan.

"Apakah peristiwa itu bisa muncul kalau tidak ada regulasi. Apakah regulasi itu benar," kata Harli.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya.

Lihat Video Senyum Tom Lembong Seusai Diperiksa 10 Jam oleh Kejagung

[Gambas Video 20detik]

Pernyataan senada juga telah disampaikan oleh Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar. Dia menegaskan penetapan seseorang menjadi tersangka tak harus karena menerima duit korupsi.

"Ya inilah (aliran dana) yang sedang kita dalami, karena untuk menetapkan sebagai tersangka ini kan tidak harus seseorang itu mendapat aliran dana," kata Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar kepada wartawan, Kamis (31/10/2024).

Qohar membeberkan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurutnya, dalam dua pasal itu terurai bahwa korupsi tidak hanya soal memperkaya diri sendiri.

"Artinya di dalam dua pasal ini, seseorang tidak harus mendapatkan keuntungan. Ketika memenuhi unsur bahwa dia salah satunya menguntungkan orang lain atau korporasi, akibat perbuatan melawan hukum, akibat perbuatan menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya, karena jabatannya, dia bisa dimintai pertanggungjawaban pidana," jelasnya.

Duduk Perkara

Kasus dugaan korupsi dalam impor gula pada 2015-2016 ini baru menjerat dua tersangka. Keduanya adalah Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dan Charles Sitorus selaku mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI)

Dalam kasus ini ada beberapa istilah yang harus dipahami, yaitu gula kristal mentah (GKM), gula kristal rafinasi (GKR), dan gula kristal putih (GKP). Mudahnya, GKM dan GKR adalah gula yang dipakai untuk proses produksi, sedangkan GKP dapat dikonsumsi langsung.

Berdasarkan aturan yang diteken Tom Lembong sendiri saat menjadi Mendag, hanya BUMN yang diizinkan melakukan impor GKP, itu pun harus sesuai kebutuhan dalam negeri yang disepakati dalam rapat koordinasi antarkementerian serta dalam rangka mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga GKP.

Sedangkan dalam perkara ini–pada 2016 Indonesia mengalami kekurangan stok GKP–seharusnya bisa dilakukan impor GKP oleh BUMN. Namun, menurut jaksa, Tom Lembong malah memberikan izin ke perusahaan-perusahaan swasta untuk mengimpor GKM, yang kemudian diolah menjadi GKP.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya.

Lihat Video Senyum Tom Lembong Seusai Diperiksa 10 Jam oleh Kejagung

[Gambas Video 20detik]

Jaksa mengatakan Tom Lembong menekan surat penugasan ke PT PPI untuk bekerja sama dengan swasta mengolah GKM impor itu menjadi GKP. Total ada sembilan perusahaan swasta yang disebutkan, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, PT MSI, dan terakhir PT KTM.

"Atas sepengetahuan dan persetujuan tersangka TTL (Thomas Trikasih Lembong), persetujuan impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta. Seharusnya, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung," kata Abdul Qohar selaku Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.

Setelah perusahaan swasta itu mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membelinya. Padahal yang terjadi, menurut jaksa, GKP itu dijual langsung oleh perusahaan-perusahaan swasta itu ke masyarakat melalui distributor dengan angka Rp 3.000 lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET).

"Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI mendapatkan fee sebesar Rp 105/kg. Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai kurang lebih Rp 400 miliar, yaitu nilai keuntungan yang diperoleh perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara," imbuh Abdul Qohar.

Lihat Video Senyum Tom Lembong Seusai Diperiksa 10 Jam oleh Kejagung

[Gambas Video 20detik]

Sumber