Pengamat: Pemerintah Perlu Gerak Cepat Putuskan Nasib Gas Murah Industri (HGBT)

Pengamat: Pemerintah Perlu Gerak Cepat Putuskan Nasib Gas Murah Industri (HGBT)

Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengingatkan pemerintah segera membuat kajian ataupun kriteria industri penerima harga gas bumi tertentu (HGBT).

Hal ini seiring dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang belum memutuskan apakah program HGBT berlanjut tahun ini. Bahlil bahkan berpotensi memangkas jumlah perusahaan yang berhak menerima HGBT tahun ini.

HGBT merupakan kebijakan pemerintah untuk menetapkan harga gas bumi yang lebih murah untuk beberapa sektor industri. Kebijakan yang diberlakukan sejak 2020 untuk tujuh sektor industri dengan harga gas sebesar US$6 per MMBtu itu telah berakhir pada 31 Desember 2024.

Adapun, program HGBT menyasar tujuh subsektor industri yakni pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet.

Menurut Fabby, pemerintah harus gerak cepat dalam memutuskan kelanjutan program HGBT tersebut. Dia berpendapat pemerintah segara membuat kriteria industri yang layak menerima gas murah.

"Jadi kriteria-kriterianya apa? Misalnya, tentunya yang kita lihat ya, daya saing dia. Kalau dia daya saingnya memang terdampak ya kalau misalnya HGBT dicabut. Ya, mungkin itu yang jadi bisa tetap diberikan ke mereka," ucap Fabby kepada Bisnis, Kamis (9/1/2025).

Dia mengatakan daya saing industri harus menjadi salah satu patokan pemberian HGBT. Sebab, jika daya saing turun imbas pencabutan HGBT, industri tersebut terancam gulung tikar.

Selanjutnya, pemerintah juga bisa membuat kriteria penerima sesuai dengan seberapa strategis industri tersebut. Fabby mencontohkan, industri yang strategis adalah industri pupuk. Pasalnya, jika HGBT dicabut harga pupuk bisa naik. Hal ini pun tentu akan berdampak ke sektor pertanian dan harga pangan.

Selain itu, Fabby juga menyebut pemerintah bisa memasukan kriteria industri penyerap tenaga kerja untuk mempertimbangkan pemberian HGBT. Artinya, pemerintah tetap perlu memberikan HGBT kepada industri yang dapat menyerap tenaga kerja paling banyak.

"Nah, jadi industri-industri yang bisa mempertahankan tenaga kerja atau menyerap tenaga kerja, itu yang juga perlu diprioritaskan," kata Fabby.

Sebelumnya, Bahlil mengatakan, pihaknya masih mengkaji terkait kelanjutan program HGBT pada tahun ini. Dia juga membuka opsi untuk memangkas jumlah sektor industri penerima HGBT itu.

"Ada kemungkinan [memangkas jumlah perusahaan atau industri], kami lagi ada bahas, tapi belum final ya," kata Bahlil di Kantor BPH Migas, Jakarta Selatan, Selasa (7/1/2025).

Selain itu, Bahlil juga mengatakan, pemerintah tengah mengevaluasi pelaksanaan program HGBT sebelumnya.

Dia menjelaskan, HGBT sejatinya bertujuan untuk memberikan keuntungan bisnis bagi perusahaan penerima. Oleh karena itu, jika ada perusahaan yang sudah untung, Bahlil akan mengeluarkan perusahaan tersebut dari daftar penerima HGBT.

Menurutnya, tolak ukur keuntungan perusahaan itu dilihat dari kesehatan internal rate of return (IRR).

"Yang IRR-nya udah bagus, kemungkinan kita dapat pertimbangkan untuk dikeluarkan di dalam checklist HGBT," kata Bahlil.

Sumber