Pengampunan Koruptor: Jalan Pintas Menuju Surga Korupsi

Pengampunan Koruptor: Jalan Pintas Menuju Surga Korupsi

WACANA penuh kontroversial kembali mengemuka perihal pemberian pengampunan kepada koruptor dengan syarat mengembalikan uang hasil korupsi ke negara.

Di balik niat baik ini, muncul pertanyaan penting mengenai arti sebenarnya dari pengampunan dalam konteks korupsi.

Pengampunan sering kali diartikan sebagai kesempatan kedua bagi pelanggar hukum. Namun, dalam kasus korupsi, hal ini bisa menjadi sinyal bahwa tindakan ilegal dapat ditoleransi selama ada upaya mengembalikan kerugian.

Apakah memberikan ampunan kepada koruptor justru merendahkan nilai keadilan?

Di satu sisi, langkah ini bisa dimaknai sebagai upaya pragmatis untuk mengembalikan aset negara yang hilang.

Namun, di sisi lain, pengampunan semacam ini berpotensi menciptakan preseden buruk. Para pelaku korupsi merasa bahwa mereka bisa melanggar hukum tanpa takut akan konsekuensi serius.

Wacana pemberian pengampunan bagi koruptor menimbulkan risiko bahwa pengampunan dapat dipandang sebagai legitimasi atas tindakan korupsi, yang pada akhirnya hanya akan memperburuk budaya penyimpangan di lingkungan birokrat dan pemerintahan.

Sepintas, ide pengampunan koruptor mungkin memiliki tujuan yang baik. Sebagai masyarakat, kita hormati itu. 

Namun, wacana tersebut justru sangat berbahaya jika diterapkan dan tentunya bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Merujuk pada Pasal 4 UU 31/1999 juncto UU 20/2021 tentang Tipikor disebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus pidana.

Dengan demikian, penuntutan terhadap koruptor tidak dihapus, meski pelaku telah mengembalikan hasil pidana korupsi yang dilakukannya.

Jika memaafkan koruptor dengan syarat mengembalikan uang yang diambil adalah cara kita menjalani keadilan, maka sepertinya kita perlu memikirkan kembali definisi “pengampunan.”

Apakah setelah mengikuti program pengampunan, mereka bisa kembali ke masyarakat dengan gelar “kembali bersih”?

Kita harus bertanya, apakah kita ingin memberikan kesempatan kedua kepada para pelanggar hukum, sementara di sisi lain, masyarakat yang taat hukum berjuang untuk mendapatkan sedikit perhatian.

Bukankah lebih baik jika kita menciptakan sistem yang lebih adil, di mana pengembalian uang tidak cukup untuk menghapus jejak korupsi?

Tentu saja, kita semua manusia dan bisa berbuat salah. Namun, mengizinkan koruptor untuk kembali beroperasi setelah mengembalikan uang seolah-olah kita sedang memberikan mereka “tiket VVIP” untuk kembali ke arena.

Sementara, rakyat yang menderita akibat tindakan koruptor hanya bisa menonton dari jauh. Jadi, mari kita hentikan ide ini, pengembalian hasil curian uang rakyat adalah tiket masuk ke “surga korupsi.”

Wacana ini dapat dipandang sebagai sinyal bahwa korupsi dapat dianggap sebagai perkara sepele, karena pelaku bisa mendapatkan ampunan setelah mengembalikan uang hasil curian. Hal ini akan memicu terjadinya surga korupsi di Indonesia.

Hal ini menciptakan anggapan bahwa tindakan korupsi mungkin tidak akan berujung pada konsekuensi serius, sehingga dapat mendorong lebih banyak orang untuk terlibat dalam praktik tersebut.

Sebagaimana diungkapkan oleh para pengamat, sinyal semacam ini sangat merugikan dan dapat merusak upaya yang telah dilakukan untuk memberantas korupsi.

Saat ini, yang diperlukan adalah tindakan tegas dan keras terhadap pelaku tindak pidana korupsi, dengan memanfaatkan instrumen hukum yang sudah ada.

Penegakan hukum harus dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh aparat penegak hukum, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kerja sama ini sangat penting untuk memastikan bahwa semua pihak beroperasi secara sinergis dalam upaya memberantas korupsi dan menegakkan keadilan.

Lebih dari itu, penegakan hukum juga harus melibatkan langkah-langkah yang lebih keras, termasuk memiskinkan koruptor melalui penerapan UU Perampasan Aset.

Dengan UU Perampasan Aset, negara memiliki instrumen lebih kuat untuk menyita aset yang diperoleh secara ilegal, sehingga memberikan efek jera lebih besar bagi para pelaku korupsi.

Jadi, daripada melempar wacana pemberian ampunan kepada koruptor, sebaiknya fokus kita diarahkan segera mengesahkan UU Perampasan Aset.

Upaya pemberantasan korupsi harus melibatkan penegakan hukum yang tegas dan kolaboratif, serta didukung UU yang mengatur perampasan aset koruptor untuk memberikan efek jera. Masyarakat berhak melihat tindakan nyata, bukan sekadar retorika politik.

Keadilan sejati mengharuskan adanya pertanggungjawaban, bukan sekadar pengampunan yang begitu mudah. Pada akhirnya, keadilan yang sebenarnya bukan hanya tentang mengembalikan uang curian, tetapi memastikan bahwa tidak ada lagi yang diambil dari rakyat.

Sumber