Penggantian Diksi RUU Perampasan Aset Jadi Pemulihan Bisa Hilangkan Esensi

Penggantian Diksi RUU Perampasan Aset Jadi Pemulihan Bisa Hilangkan Esensi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Komisi III DPR Pieter Zukifli menilai rencana penggantian diksi perampasan menjadi pemulihan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset bisa menghilangkan esensi dan mengurangi semangat pemberantasan korupsi.

Hal ini ia sampaikan menanggapi pernyataan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Doli Kurnia, yang mengusulkan agar diksi perampasan diubah menjadi pemulihan.

Pieter menegaskan, perampasan aset ilegal bukan sekadar soal pemulihan atau pengembalian aset kepada negara, melainkan bagian integral dari upaya memberantas akar korupsi di Indonesia.

"Perubahan ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah perubahan kata ini hanyalah soal linguistik atau justru memengaruhi esensi dari RUU tersebut?" ucap Pieter dilansir Antara, Sabtu (9/11/2024).

Maka dari itu, ia berharap DPR tidak hanya berfokus pada istilah, lantaran berbagai pasal yang mengatur tentang pembatasan penggunaan uang kartal dan penyitaan aset tidak wajar merupakan langkah konkret yang seharusnya menjadi prioritas utama.

Mantan politikus Partai Demokrat ini pun menyinggung sikap parlemen yang tak sejalan dengan pemerintah terkait penggantian diksi dari RUU tersebut.

Sebab, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan hingga sekarang belum ada kajian komprehensif mengenai alasan penggantian diksi itu.

Ia juga mengingatkan, rencana perubahan diksi tersebut mendapat kritik tajam dari sejumlah kalangan, misalnya mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.

Novel menganggap pergantian diksi bisa mengurangi roh perjuangan RUU dalam memberantas korupsi.

Oleh karena itu, Pieter menekankan bahwa RUU Perampasan Aset bukan sekadar masalah terminologi, tetapi juga mencerminkan strategi optimal dalam pemberantasan korupsi.

Urgensi perampasan aset, sambung dia, bukan sekadar masalah kepentingan dalam konteks penegakan hukum, seperti penyitaan perampasan, tetapi lebih kepada strategi pemberantasan korupsi yang optimal.

Dia mengatakan, bagi masyarakat, RUU itu diharapkan menjadi alat efektif untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas para penyelenggara negara.

Publik juga berharap agar RUU Perampasan Aset segera disahkan tanpa lagi terjebak dalam polemik diksi semata.

"Sebab apa pun istilahnya, yang terpenting keberanian dan komitmen nyata untuk menindak korupsi hingga ke akar-akarnya demi Indonesia yang lebih bersih dan bebas dari praktik korupsi," katanya menegaskan.

Sebelumnya, Wakil Ketua Baleg Ahmad Doli Kurnia meminta masyarakat yang mendorong pembahasan RUU Perampasan Aset memberikan masukan atau alasan kepada Baleg mengenai nama RUU tersebut.

Pasalnya, menurut Doli, diksi Perampasan masih menjadi pertanyaan apakah mengarah ke yang baik atau tidak.

Mulanya, Doli mengungkit diksi yang dibenarkan justru pemulihan, bukan perampasan.

"Nah saya cari tahu ternyata rupanya di dalam UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) itu bahasa ininya adalah stolen asset recovery. Kalau recovery itu ya pemulihan," kata Doli dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Baleg, Kamis (31/10/2024).

"Lantas kenapa kita memilih kata perampasan dibandingkan pemulihan yang tertera di UNCAC itu," lanjutnya.

Doli kemudian juga mengajak para ahli hukum untuk melihat diksi Perampasan.

Ia bertanya apa pandangan para ahli hukum mengenai berbagai tindakan yang menggunakan diksi perampasan.

"Nah dan sebenarnya saya perlu tanya dengan teman-teman hukum, kira-kira kalau lihat lucu-lucunya saja deh, gitu ya, UU Perampasan Aset, apakah diksi perampasan itu baik untuk negara ini?" ungkap politikus Partai Golkar ini.

Sumber