Penghasilan Jutaan hingga Miliaran, Ini Cara Hitung Pajak Penghasilan alias PPh 21
Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak alias Ditjen Pajak memberi penjelasan bagaimana cara menghitung pajak penghasilan orang pribadi atau PPh 21. Perhitungannya terkait dengan skema pajak progresif, yakni semakin besar penghasilan seseorang maka semakin besar pula lapisan tarif pajaknya.
Dikutip dari laman Kementerian Keuangan, PPh pasal 21 adalah pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan kepada orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa, dan kegiatan. PPh orang pribadi (OP) sendiri merupakan setoran wajib setiap warga negara yang berpenghasilan di atas Rp54 juta per tahun.
Dalam sebuah video singkat yang diunggah dalam akun Instagram @ditjenpajakri pada Senin (28/10/2024), Ditjen Pajak menjelaskan bagaimana cara menghitung estimasi PPh OP yang perlu dibayar setiap tahunnya.
Di awal video, disematkan cuplikan seorang perempuan yang mengaku memiliki penghasilan Rp15 miliar per tahun.
Berdasarkan angka penghasilan, lalu dijelaskan berapa PPh OP yang wajib dibayar perempuan tersebut. Langkah awal yaitu menentukan penghasilan neto atau bersihnya.
Notabenenya, penentuan penghasilan neto bagi yang berpenghasilan lebih Rp4,8 miliar pertahun ditentukan berdasarkan pembukuan. Namun agar percontohan lebih praktis, digunakan norma penghitungan penghasilan neto dengan asumsi 50%.
Kemudian, dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp54 juta. Akhirnya, didapatkan rumusan Rp15 miliar - 50% - Rp54 juta.
Hasilnya, penghasilan kena pajak (PKP) yaitu Rp7.446.000.000 atau Rp7,446 miliar.
Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPh OP diatur secara progresif. Artinya, jika semakin besar penghasilannya maka semakin besar pajak yang wajib dibayar.
Oleh sebab itu, jika penghasilan kena pajaknya Rp7.446.000.000 atau di atas Rp5 miliar maka akan dikenakan tarif pajak dengan lima lapisan sekaligus.
Lapis pertama 5% × Rp60 juta = Rp3.000.000
Lapis kedua 15% × Rp190 juta (didapat dari Rp250 juta - Rp60 juta) = Rp28.500.000
Lapis ketiga 25% × Rp250 juta (didapat dari Rp500 juta - Rp250 juta) = Rp62.500.000
Lapis keempat 30% × Rp4,5 miliar (didapat dari Rp5 miliar - Rp500 juta) = Rp1.350.000.000
Lapis kelima 35% × Rp2,446 miliar (didapat dari Rp7.446.000.000 - Rp5.000.000.000) = Rp856.100.000
Kemudian, hasil perhitungan semua lapisan tersebut ditambahkan sehingga hasilnya Rp2.300.100.000. Artinya, penghasilan Rp15 miliar per tahun akan dikenai pajak kira-kira Rp2,3 miliar.
Meski tampaknya banyak, namun ternyata pajak ‘orang kaya’ atau pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP) memberi sumbangan terkecil untuk pendapatan negara dibandingkan penerimaan jenis-jenis pajak utama lainnya.
Dalam buku APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) September 2024, Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak sebesar Rp1.196,54 triliun sepanjang Januari—Agustus 2024 atau setara 60,16% dari target APBN.
Berdasarkan jenisnya, penerimaan pajak tersebut didapat paling banyak dari PPN DN sebesar Rp275,69 triliun (23,04%); lalu PPh Badan sebesar Rp212,7 triliun (17.78%); PPN Impor sebesar Rp176,33 triliun (14,74%); PPh 21 sebesar Rp176,14 triliun (14,72%); PPh Final sebesar Rp87,99 triliun (7,35%).
Kemudahan PPh 26 sebesar Rp61,46 triliun (5,14%); PPh 22 Impor sebesar Rp50,99 triliun (4,26%); dan yang terendah atau paling kecil adalah PPh OP sebesar Rp11,44 triliun (0,96%).
Padahal, PPh OP dikenal sebagai ‘pajak orang kaya’ karena bersifat progresif seperti yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU HPP.