Penghasilan Rp 30.000 Sehari, Ibu Kesulitan Beli Popok dan Makanan untuk Wahyu yang Pengecilan Otak
JAKARTA, KOMPAS.com - Wahyu Ramadhan, seorang anak berusia 10 tahun yang terlahir dengan kondisi pengecilan otak, menjalani kehidupan yang penuh tantangan di tengah keluarga sederhana.
Saat ini, ia dirawat oleh ibunya dan neneknya, Ranina (60), yang mengungkapkan kesulitan mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti popok dan makanan.
"Sehari-hari yang saya pikirin membeli popok dan makanan itu aja. Namanya enggak ada bapak," ujar Ranina saat diwawancarai di kediamannya di Marunda, Jakarta Utara, pada 18 Desember 2024.
Ayah Wahyu telah meninggalkannya sejak ia masih dalam kandungan, sehingga ibunya harus berjuang sendirian untuk merawatnya.
Ranina yang bekerja sebagai penjaga warung es hanya mendapatkan upah sebesar Rp 30.000 per hari, meskipun pendapatan tersebut tidak selalu diperoleh setiap hari.
"Dia dapat upah kerja sama orang Rp 30.000 sehari. Itu juga tidak tiap hari, bayarnya bulanan," tambah Ranina.
Pendapatan ini sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan khusus Wahyu.
Wahyu memerlukan makanan lembut seperti bubur MPASI sasetan dan buah pepaya, serta popok yang harganya mencapai Rp 55.000 per bal.
Namun, dengan pendapatan yang terbatas, Ranina terpaksa membeli popok secara eceran.
"Kalau satu bal Rp 55.000. Jarang beli begitu, ini beli aja eceran," ungkapnya.
Ranina juga mengandalkan bantuan dari tetangga, petugas RT dan RW, serta lurah setempat untuk memenuhi kebutuhan cucunya.
"Ya, perhatian, RT-RW perhatian. Tadi baru datang dokter 12 orang dari Puskesmas Cilincing juga," katanya.
Meskipun demikian, bantuan tersebut tidak selalu tersedia setiap hari.
Ranina berharap agar pemerintah dapat memberikan bantuan berupa popok dan makanan untuk kebutuhan Wahyu.
"Harapan saya minta dingertiin aja. Kepinginan saya sih banyak buat kebutuhan Wahyu kayak pampers, makanan, cerelac," ungkapnya.
Wahyu telah divonis dokter mengidap penyakit pengecilan otak sejak bayi, yang mengakibatkan perkembangan dan pertumbuhannya terganggu.
Berat badan Wahyu hanya sekitar 9 kilogram, dan ia tidak dapat mengonsumsi makanan padat seperti anak-anak seusianya.
Meskipun kondisinya yang kurus sering kali disalahartikan sebagai gizi buruk, Ranina menegaskan bahwa cucunya tidak pernah divonis mengalami masalah gizi.
"Enggak pernah divonis kurang gizi, karena kelainan aja gitu," jelasnya.
Kondisi fisik Wahyu yang terlalu kurus membuatnya hanya mampu berbaring di tempat tidur, dan ia tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
"Dia enggak bisa ngomong, paling kalau nangis itu dia teriak," tambah Ranina.