Pengusaha Furnitur Wanti-Wanti Badai PHK Imbas UMP PPN Naik
Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesa (Asmindo) mengungkap potensi badai pemutusan hubungan kerja (PHK) industri furnitur, seiring dengan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atau Tarif PPN 12% dan kenaikan upah minimum 6,5% tahun depan.
Ketua Umum Asmindo Dedy Rochimat mengatakan stimulus berupa paket kebijakan insentif untuk industri padat karya seperti PPh 21 ditangung pemerintah (DTP) dan fasilitas pembiayan kredit masih perlu disesuaikan dengan tantangan industri furnitur.
"Kami melihat bahwa kebijakan PPN dan UMP berpotensi menimbulkan PHK pada tahun 2025, karena adanya tekanan pada biaya produksi pada industri furnitur," kata Dedy kepada Bisnis, Senin (23/12/2024).
Pihaknya meminta agar pemerintah meninjau kembali kebijakan tersebut, pasalnya saat ini negara-negara Eropa sebagai salah satu kawasan tujuan ekspor mebel sedang mengalami penurunan daya beli.
Di samping itu, Dedy menyoroti permasalahan geopoplitik yang juga belum kunjung selesai. Terlebih, pada saat yang sama negara kompetitor yaitu Vietnam, pemerintahnya justru menurunkan PPN dari 10% menjadi 8%.
"Kenaikan PPN menjadi 12% dan UMP sebesar 6,5% pasti sangat memengaruhi Harga Pokok Produksi (HPP) industri furnitur secara signifikan," jelasnya.
Kombinasi dua kebijakan tersebut dapat menyebabkan peningkatan total biaya produksi, mulai dari kenaikan biaya tenaga kerja, beban PPN pada bahan baku dan jasa, sehingga HPP naik keseluruhan dan berisiko pada peningkatan harga jual serta penurunan daya saing industri lokal.
"Langkah ini berisiko menurunkan daya saing industri furnitur Indonesia dengan negara-negara seperti China dan Vietnam yang lebih unggul dalam produktivis dan efisiensi," ujarnya.
Menurut Dedym agar stimulus insentif tersebut efektif maka diperlukan langkah-langkah tambahan seperti pengurangan tarif PPN untuk produk dengan komponen lokal tinggi atau percepatan restitusi PPN bagi eksportir guna menjaga likuiditas perusahaan.
Selain itu, pengurangan biaya produksi melalui subsidi pada tarif listrik dan biaya transportasi, perlindungan pasar domestik dengan pengendalian impor furnitur murah, dukungan ekspor, serta penurunan upah minimum ke level 3% yang dinilai lebih realistis.