Pengusaha Mebel Sebut Insentif Padat Karya Tak Cukup Bantu Hadapi Tantangan 2025
Bisnis.com, JAKARTA - Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) menilai kebijakan insentif yang diberikan pemerintah untuk industri padat karya belum dapat mengatasi tantangan industri furnitur. Adapun, insentif yang dimaksud yaitu berupa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP).
Ketua Umum Himki Abdul Sobur mengatakan, insentif seperti PPh 21 DTP bisa membantu mengurangi tekanan biaya bagi perusahaan dan memberikan ruang untuk mempertahankan tenaga kerja.
"Kebijakan ini hanya bersifat sementara dan mungkin belum cukup untuk mengatasi tantangan struktural seperti penurunan permintaan pasar global dan domestik," kata Sobur kepada Bisnis, dikutip Senin (23/12/2024).
Menurut Sobur, stimulus tersebut memang dapat memberikan ruang gerak bagi industri padat karya khususnya industri mebel dan kerajinan yang masuk sektor kreatif industri untuk mengurangi beban operasional, terutama dalam menghadapi kenaikan biaya seperti tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% dan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5%.
Namun, insentif tersebut akan lebih efektif jika disertai upaya meningkatkan daya beli masyarakat serta mendorong ekspansi pasar ekspor lewat perbaikan bilateral ke sejumlah negara.
"Tentunya dengan perbaikan bilateral utamanya ke USA dan Uni Eropa dengan FTA [free trade agreement] atau CEPA yang dipercepat, yang selama ini menjadi tulang punggung industri padat karya furnitur dan kerajinan dengan tujuan pasar 52%," ujarnya.
Sementara itu, tahun depan industri furnitur menghadapi tantangan seperti kenaikan PPN menjadi 12% dan UMP 6,5% tahun depan.
Dia menyebut, meski insentif pajak dapat memberikan bantuan jangka pendek, efek kenaikan PPN dan UMP akan tetap dirasakan terutama oleh pelaku usaha kecil dan menengah. Pasalnya, pengusaha kelas menengah dan kecil mendominasi industri padat karya seperti furnitur dan kerajinan. Kenaikan ini berpotensi mengurangi daya saing produk di pasar domestik maupun ekspor.
"Pemerintah perlu melibatkan asosiasi seperti HIMKI dan asosiasi lainya dalam merumuskan kebijakan lanjutan untuk memastikan stimulus berdampak langsung pada penguatan daya saing industri dan pengurangan PHK," jelasnya.
Dalam hal ini, pihaknya mendorong mekanisme penyaluran fasilitas pembiayaan kredit yang lebih cepat dan efisien serta suku bunga yang lebih kompetitif acuannya LPEI 6% agar industri padat karya dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan kapasitas produksi dan perbaikan daya saing ekspor.
Selain itu, stimulus lainnya yang dapat menyelamatkan industri padat karya adalah penurunan biaya logistik yang saat ini masih tinggi. Pihaknya mendorng tambahan insentif biaya pengiriman.
Di samping itu, dia juga meminta penyediaan bahan baku dengan harga terjangkau dan kebijakan yang mendukung keberlanjutan bahan baku seperti kayu perlu diprioritaskan untuk memastikan stabilitas produksi, serta penyediaan listrik, gas, dan infrastruktur pendukung dengan harga kompetitif untuk industri padat karya perlu dioptimalkan.
"Dengan kombinasi kebijakan insentif fiskal, pengurangan biaya logistik, dan peningkatan akses pasar, HIMKI yakin industri padat karya, khususnya furnitur dan kerajinan, dapat bangkit serta menjaga ketahanan ekonomi dan lapangan kerja paling tdk harapan kami 5 tahun mendagang bisa capai omzet pertahun US$5-6 miliar," pungkasnya.