Penipuan Online Meningkat di India, Tabungan Korban Terkadang Ludes
Desember 2022, Shatabdi Biswas terbangun pada suatu pagi berkabut di Delhi setelah menerima telepon tak terduga. Dalam dua jam berikutnya, meskipun cukup berpengalaman dengan dunia digital, ia kehilangan hampir seluruh isi rekening banknya.
Perempuan berusia 37 tahun yang berprofesi sebagai penulis konten ini menjadi korban penipuan "digital arrest" yang belakangan marak terjadi. Modusnya, penipu menyamar sebagai aparat penegak hukum, seperti polisi atau petugas bea cukai, yang memberitahu korban bahwa identitas mereka telah digunakan untuk aktivitas ilegal.
Selama berjam-jam, korban dimanipulasi dan "ditahan" dalam panggilan telepon palsu itu hingga akhirnya menyerahkan semua uangnya.
Biswas hanyalah satu dari jutaan warga India yang menjadi korban penipuan digital. Menurut Pusat Koordinasi Kejahatan Siber India (I4C) di bawah Kementerian Dalam Negeri, rata-rata ada 7.000 pengaduan kejahatan siber setiap harinya hanya dalam empat bulan pertama tahun 2024.
Kasus ini tidak hanya mencakup penipuan "digital arrest", tetapi juga penipuan terkait pekerjaan, investasi, asmara, hingga phishing. Para korban diperkirakan kehilangan sekitar 17,5 miliar rupee (sekitar Rp3,28 triliun) akibat berbagai bentuk penipuan online ini.
"Kenyataannya, angka pengaduan yang tinggi itu belum mencerminkan kondisi sesungguhnya. Banyak yang tidak melapor karena tidak tahu prosedur atau merasa malu telah tertipu," ujar Arun Kumar Verma, pejabat di Departemen Kejahatan Siber Kepolisian Delhi.
Pada 2022, Biswas menerima panggilan suara otomatis yang membawanya ke layanan pelanggan palsu FedEx. Orang di ujung telepon mengeklaim bahwa paket berisi ganja dan paspor palsu sedang dikirim ke Taiwan menggunakan identitasnya. Mereka bahkan menyebutkan detail kartu Aadhaar miliknya, dokumen identitas yang terhubung dengan layanan perbankan di India.
"Mereka menghubungkan saya dengan seorang petugas bea cukai di Mumbai yang memiliki semua data saya, termasuk aksen lokal yang sangat meyakinkan," kata Biswas kepada DW.
Penipu itu menginstruksikan Biswas untuk tidak berbicara dengan siapa pun selama "penyelidikan" berlangsung dan menciptakan skenario palsu tentang organisasi kriminal yang mencuri identitas orang lain. "Saya akhirnya mengirim uang dari rekening bank saya sebagai ‘bukti’ bahwa saya pemilik rekening tersebut," katanya.
Setelah mentransfer hampir setengah juta rupee (sekitar sekitar Rp93,63 juta), Biswas hanya menerima panggilan balik yang mengatakan, "Maaf, ini penipuan."
Penelitian internasional baru-baru ini menempatkan India di posisi ke-10 dalam Indeks Kejahatan Siber Dunia, menunjukkan bahwa negara ini menjadi pusat "spesialisasi" dalam penipuan.
Menurut Ridhi Kashyap, salah satu peneliti yang terlibat, peningkatan penipuan ini terjadi karena literasi digital di India belum sejalan dengan percepatan digitalisasi.
"Orang-orang sekarang melakukan banyak hal penting melalui ponsel, tetapi tidak didukung dengan literasi digital yang memadai," jelasnya.
Kebijakan pemerintah dan pandemi COVID-19 mempercepat adopsi digital di India, terutama melalui sistem pembayaran Unified Payment Interface (UPI) yang nilainya melonjak dari 1 triliun rupee (sekitar Rp187,25 triliun) pada 2017-2018 menjadi lebih dari 200 triliun rupee (sekitar Rp37.450 triliun) pada 2023-2024.
Perempuan di India lebih rentan menjadi korban penipuan, mengingat adanya kesenjangan digital yang signifikan. "Perempuan lebih jarang memiliki ponsel sendiri dan sering bergantung pada anggota keluarga untuk membantu mereka, sehingga kepercayaan diri mereka lebih rendah," tambah Kashyap.
Selain itu, banyak pemuda terdidik di India yang tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga lebih rentan tergoda melakukan penipuan. YouTuber Jim Browning, yang kerap membongkar aktivitas scam dari India, mengungkapkan bahwa pelaku penipuan sering kali adalah lulusan perguruan tinggi yang tidak memiliki pilihan lain.
"Sebagian besar pelaku mengatakan mereka tidak punya pilihan lain," ujar Browning. "Saya pernah melihat CV mereka, dan banyak dari mereka adalah lulusan berpendidikan."
Kepolisian Delhi mengaku kesulitan dalam menangani lonjakan kasus penipuan ini. "Kami kewalahan dengan jumlah kasus yang masuk," ujar seorang petugas yang tidak ingin disebutkan namanya.
"Kejahatan siber ini tidak seperti pencurian biasa. Tidak ada pelaku di lokasi kejadian, hanya nomor telepon dan rekening bank yang bisa dilacak," jelas Arun Kumar Verma.
Keterbatasan sumber daya juga menghambat upaya penegakan hukum. "Masalah semakin sulit jika aliran uang keluar dari India, yang membuat pemulihan dana hampir tidak mungkin," tambahnya.
Kini, penipuan investasi mulai meningkat dengan modus yang memanfaatkan keserakahan korban, terutama kalangan muda yang ingin cepat kaya.
Shatabdi Biswas, yang kini lebih waspada, mengatakan dirinya masih sering mendapat panggilan scam. "Kadang-kadang saya angkat telepon dan memarahi mereka, sebagai pelampiasan," ujarnya. Kini, ia hanya menyimpan uang dalam jumlah minimal di rekening bank dan menginvestasikan sisanya agar tidak mudah diakses oleh penipu.
"Ini adalah pelajaran hidup yang sangat berharga," tutupnya.
Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris
Simak juga video VIDA Soroti Kode OTP yang Rawan Jadi Penyebab Penipuan Online
[Gambas Video 20detik]