Penonton Film Layar Tancap di Lebak Bulus Tak Seramai Dulu

JAKARTA, KOMPAS.com - Penonton film layar tancap di kawasan Waduk Lebak Bulus, Jakarta Selatan sudah tidak ramai dibandingkan zaman dulu.
Anggota Operator Film (Operfi), Soleh (53) mengatakan jumlah penonton layar tancap yang ia jalankan tak menentu.
Saat dirinya masih kecil, dia sering menghabiskan waktunya untuk duduk dan menonton film dari layar tancap di dekat rumahnya. Di sana, audiens film selalu tampak ramai.
Film mulai diputar sejak pukul 7 malam hingga pukul 4 pagi, dan audiens masih tampak ramai. Namun, keadaan serupa cukup sulit ditemukan saat ini.
“Jadi enggak kayak dulu, layar tancap itu ramenya. Ini cuma sekadar karena sesama hobi aja. Kadang-kadang yang suka ya ikut nonton, mereka yang enggak suka, silakan. Gitu aja kadang-kadang, saya lihatin sih,” kata Soleh saat ditemui Kompas.com, Rabu (8/4/2025).
Menurut Soleh, salah satu faktornya adalah bentuk hiburan masa kini yang lebih beragam. Perkembangan teknologi masa kini membuat masyarakat dapat mengakses hiburan lebih mudah.
Berbeda saat Soleh masih kecil, hiburan bersifat terbatas. Maka dari itu, masyarakat setempat bisa meramaikan hiburan seperti pemutaran layar tancap.
“Hiburan-hiburan itu enggak banyak dulu. Jadi makanya rame, enggak seperti sekarang. Jaman sekarang orang lihat HP aja udah ada mau nonton apa. Dulu TVRI jam 10 jam 9 udah enggak ada hiburan. Kesannya udah sepi,” sambungnya.
Seperti yang diungkapkan Soleh, audiens layar tancap saat ini didominasi oleh anggota komunitasnya yang bernama Operator Film (Operfi) atau orang-orang dengan minat serupa.
Maka dari itu, jadwal pemutaran film pun disesuaikan dengan kemampuan anggota komunitas.
“Enggak, kita enggak kasih jadwal apa-apa. Kita kadang-kadang kita lagi pengen iseng, kita pengen muter, panggil aja anak-anak, ya muter yuk, ya udah gitu,” katanya.
Meskipun begitu, audiens di luar komunitas maupun warga sekitar juga ada yang ikut menonton. Salah satu alasannya adalah kesempatan untuk bernostalgia.
“Ada juga yang kadang-kadang dia pengen berkunjung ke sini. ‘Ada layar tancap tuh, kangen. Nostalgia yuk,’ ‘Ntar malam kita ini,’ ‘Bang, boleh nonton?’, ‘Boleh, silakan, gratis,’ gitu,” ungkap Soleh.
Bukan sekadar layar tancap biasa, pemutaran film oleh Operfi ini dilakukan menggunakan proyektor film yang sering digunakan sebelum era digital. Selain itu, film yang diputar juga masih dalam bentuk gulungan pita seluloid.
Namun, Soleh pun tidak ingin menolak perkembangan teknologi. Banyak film masa kini sudah tidak diproduksi dalam bentuk klise film.
Terkadang, pemutaran film layar tancap juga menggunakan versi digital. Seperti film horror yang disukai audiens anak-anak.
Selain film, layar tancap juga digunakan untuk nonton bareng (nobar) pertandingan sepak bola.
“Pas udah tahun 2000-an kan udah mulai nggak pake roll lagi. Pakenya digital semua. Kita juga ada (digital), kita pakai kalau ada nobar bola, kayak film horror juga, cuma pakai flash disk” ujarnya.
Film yang ditayangkan cukup beragam, mulai dari film berbahasa Indonesia, Inggris, Mandarin, Korea, hingga India.
Seperti halnya film luar negeri yang tayang di bioskop, film layar tancap ini juga menyediakan teks terjemahan berbahasa Indonesia.
Dalam satu malam penayangan, biasanya ada sejumlah layar yang dipasang untuk film berbeda.
Setelah sempat vakum selama bulan puasa, pemutaran layar tancap di Waduk Lebak Bulus akan kembali lagi. Sebanyak empat film akan ditayangkan.
Pemutaran film ini terbuka untuk umum dan dimulai setelah waktu ibadah shalat isya, di kisaran pukul 19.00 WIB.
“Besok juga nih tanggal 12, yuk kita adain halal di halal sama komunitas. Masyarakat umum bisa dateng juga ikut nonton,” katanya.
Film India keluaran 1995 berjudul Baazi disebut akan menjadi salah satu film yang diputar. Selain itu, ada pula film mancanegara lainnya seperti film Mandarin dan Amerika, serta film berbahasa Indonesia yang bisa menjadi pilihan bermalam minggu.