Penyambung Lidah Rakyat di Antara Tjahjo dan Hasto

Penyambung Lidah Rakyat di Antara Tjahjo dan Hasto

Aksi Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menenteng buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" karya Cindy Adams saat merespons penetapan status tersangka oleh KPK mengingatkan saya kepada Tjahjo Kumolo yang berpulang pada 1 Juli 2022. Saya mengenal nama Tjahjo dari media massa sejak dia menjadi Ketua KNPI pada awal 1990-an. Lalu bertahun kemudian sesekali pernah berkomunikasi dalam relasi saya sebagai wartawan dan Mas Tjahjo, begitu saya menyapanya, sebagai narasumber. Dia pernah menjadi politisi Partai Golkar, dan sejak awal reformasi bergabung dengan PDI Perjuangan.

Sejatinya tak langsung demikian. Mas Tjahjo sempat hendak merapat ke Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) yang disiapkan Jenderal (Purn) Edi Sudradjat setelah kalah suara dari Akbar Tanjung memperebutkan Golkar. Salah satu versi menyebut wartawan kawakan Panda Nababan yang mengajaknya bergabung. Dalam sebuah kesempatan Panda yang juga politisi senior PDIP bercerita bahwa dirinya belasan kali membawa Tjahjo agar bisa dekat dengan Megawati dan Taufiq Kiemas.

Namun cerita berbeda diungkap dalam buku, ‘Tanpa Rakyat Pemimpin Tak Berarti Apa-Apa Jejak Langkah 60 Tahun Taufiq Kiemas’. Di situ disebutkan bila Tjahjo berusaha masuk PDIP melalui pengurus DPD PDI DKI Jakarta seperti Santayana Kiemas dan Audi Tambunan. Gayung bersambut, karena PDIP pun sejatinya tengah mencari figur-figur politisi berpengalaman. Saat bertemu di Kebagusan, Tjahjo pun langsung diminta membantunya. "Yo, lu masuk bantu partai, ya!" kata Taufiq.

Dengan jam terbang yang dimiliki sebelumnya, di "Kandang Banteng" Tjahjo langsung dipercaya sebagai Direktur SDM Litbang DPP PDIP, 1999-2002. Di DPR lelaki kelahiran Solo, 1 Desember 1957 itu menjadi Ketua Fraksi selama dua periode, 2004-2009, 2009-2014. Pada Kongres III PDIP, Megawati menunjuk Tjahjo sebagai Sekretaris Jenderal PDIP (2010-2015) menggantikan Pramono Anung yang menjadi Wakil Ketua DPR (2014-2019).

Saat Jokowi menjadi Presiden, 2014-2019, Megawati menitipkan suami dari Erni Guntarti itu untuk menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Di periode kedua, Tjahjo diminta membenahi birokrasi dengan menjadi Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Kinerjanya sebagai MenPAN-RB tergolong baik. Paling tidak, Lembaga Klimatologi Politik pernah mencatatkan soal ini. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu disebut mampu menerapkan aturan-aturan yang baik di lingkungan kementerian. Khusus menjelang pilkada, langkah-langkah yang telah dilakukannya juga dianggap bagus, mengingat Kementerian Dalam Negeri bersama Kementerian PAN-RB sedang mengampanyekan gerakan netralitas PNS menghadapi pilkada serentak.

Pada 8 Juni 2020, saya mewawancarai Mas Tjahjo untuk Program Blak-blakan. Usai wawancara dan ngobrol ngalor-ngidul, kami diizinkan untuk melihat-lihat koleksi keris dan ribuan buku yang memenuhi rak-rak panjang, termasuk di kamar kerjanya. Buku-buku itu merupakan koleksinya selama menjadi mendagri. Selain referensi ilmu hukum, politik, sejarah, dan filsafat, biografi sejumlah tokoh dunia menghiasi rak bukunya.

Melihat saya membuka-buka salah satu buku legendaris, "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" karya Cindy Adams, dia tersenyum. "Kalau tertarik silakan ambil saja, Mas. Saya masih ada beberapa," ujarnya.

Tjahjo juga tak keberatan ketika saya memintanya membubuhkan tanda tangan di buku tersebut dan beberapa judul buku lain yang dihadiahkan kepada kami. Tadi malam saya kembali membolak-balik buku karya Cindy Adams. Buku yang diklaim Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai rujukan perjuangan menegakkan demokrasi. Hasto menjabat Sekjen PDIP sejak 2014, menggantikan Tjahjo yang masuk kabinet Jokowi. Dia menjadi satu-satunya Sekjen PDIP yang menjabat dua periode berturut-turut, hingga 2024 ini. Dia merintis karir politik di PDIP dari bawah, dan mulai menjadi anggota DPR pada 2004-2009.

Kembali ke buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" karya Cindy Adams, khususnya Bab 9 yang disebut Hasto. Di halaman 109-114 bab tersebut ternyata tak mengisahkan Bung Karno ditangkap dan dikirim ke Penjara Banceuy karena tuduhan menyuap aparat. Bukan karena memerintahkan kawannya yang ingin menjadi politisi meski raihan suara tak mencukupi untuk kabur dan bersembunyi. Juga tidak memerintahkan agar HP direndam untuk menghilangkan barang bukti. Sama sekali tidak!

Bung Karno dipenjarakan rezim kolonial karena secara otentik menyuarakan kemerdekaan. Memperjuangkan cita-citanya itu secara marathon sejak dia remaja. Bukan baru di momen-momen akhir ketika kekuasaan di tangan mulai surut. Si Bung menyuarakan kemerdekaan dan demokrasi secara otentik, bukan manipulasi dendam pribadi dan kelompok karena kepentingan dan ambisinya tak terpenuhi.

Dari buku setebal 415 halaman itu juga kita secara gamblang mengetahui bila Bung Karno itu otentik membela rakyat. Bukan semata membela sahabat dan kerabat dengan mengintimidasi para pihak yang bukan sekutunya. Si Bung adalah kesatria sejati. Tidak gemar playing victim dan mengkambinghitamkan pihak lain.

Sumber