Penyelamatan Industri Tekstil, Pengusaha Minta Sinkronisasi Kebijakan
Bisnis.com, JAKARTA - Sinkronisasi kebijakan dinilai menjadi jalan keluar yang paling manjur untuk menyelamatkan industri tekstil yang sedang tertekan.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma G. Wirawasta mengatakan koordinasi antarkementerian masih perlu ditingkatkan agar kebijakan yang diambil dapat selaras dengan kebutuhan industri dalam negeri.
"Kalau Pak Agus Gumiwang [Menteri Perindustrian] sudah clear sangat paham sama kondisi industri. Masalahnya di kementerian lain di Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perdagangan yang tergantung Kementerian Koordinasi," kata Redma, dikutip Minggu (27/10/2024).
Dia mencontohkan aturan tata niaga impor lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 8/2024 yang kini justru membebani industri dan disinyalir sebagai biang kerok terpuruknya industri tekstil nasional.
Sebagaimana diketahui, Permendag 8/2024 merupakan revisi ketiga yang dilakukan pemerintah setelah mengeluarkan Permendag 26/2023 terkait Pengaturan Impor. Aturan yang awalnya bertujuan membatasi impor, yang terbaru justru merelaksasi impor sejumlah komoditas termasuk tekstil.
"Kayak kemarin Permendag 36/2023 ke Permendag 8/2024 itu posisi perdagangan sulit ditekan sana sini. Yang harus diberesin Kemenkeu untuk pasar dalam negeri, ekspor masih sulit karena ekonomi global," tuturnya.
Redma menyoroti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu yang disebut masih banyak bermain dalam tata kelola impor, termasuk impor ilegal. Tak hanya itu, rencana kenaikan pajak juga akan menekan beban industri.
Dalam hal ini, dia menilai perbaikan industri manufaktur akan bergantung pada perbaikan struktur di wilayah Kementerian Keuangan. Pasalnya, hal ini juga akan berkaitan dengan kontribusi manufaktur dalam mendorong pertumbuhan PDB nasional.
"Arahan Prabowo kan clear manuf harus naik, itungan kami kalo mau 7%-8% pertumbuhan ekonomi, industri harusnya tumbuh 10%, 5 tahun terakhir 5%, kita [industri] cuma 4%-4,5%. Kalau mau kontribusi 18% harus tumbuh di atas ekonomi, tekstil harus 16% tapi sekarang berat," ujarnya.
Beberapa kebijakan yang menjadi opsi penyelamatan industri tekstil menurut Redma yakni perlindungan pasar dalam negeri. Hal ini dapat dilakukan melalui penerapan safeguard atau bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atau bea masuk antidumping (BMAD) tekstil.
Selain itu, pihaknya juga menyingung terkait neraca komoditas untuk menyelaraskan data supply dan demand produk TPT. Sebab, saat ini terdapat 1.100 kode HS tekstil.
"Ini supaya Kementerian ada kuota ada dasarnya. Meskipun di Kemenperin verifikasinya sudah clear dan sangat bagus terukur dan dipertanggungjawabkan," imbuhnya.
Di sisi lain, Redma juga berharap perluasan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk industri tekstil. Namun, kebijakan tersebut harus direstui oleh Kementerian ESDM dan Kemenkeu.
Senada, Ketua Indonesia Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Jawa Barat, Nandi Herdiaman mengatakan pihaknya berharap dukungan pemerintah Prabowo dapat berpihak pada perlindungan industri manufaktur.
"Faktor masalahnya jelas di depan mata. Kami digempur impor ilegal. Pak Menteri Perindustrian itu vocal. Beliau jadi menteri lagi beliau bisa lebih mendobrak lebih berani. Tekstil udah banyak PHK," pungkasnya.