Perantau Asal Jatim Kembangkan Batik di Wawonii, Ini Ciri Khas Motifnya

Perantau Asal Jatim Kembangkan Batik di Wawonii, Ini Ciri Khas Motifnya

Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang mendunia. Di Indonesia, masyarakat umumnya mengenal batik dari wilayah-wilayah di Pulau Jawa, seperti Solo, Jogja, Cirebon hingga Pekalongan.

Namun seiring berkembangnya zaman, batik terus terus mengalami perkembangan hingga ke luar Pulau Jawa. Salah satu contoh menarik adalah perkembangan batik di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara.

Syalisatul Qamariyah Lis, seorang perantau asal Jawa Timur membawa kecintaannya terhadap batik ke Pulau Wawonii. Ia bahkan mendirikan rumah batik dan memberdayakan masyarakat setempat lewat batik.

"Awal mula berdirinya rumah batik ini, kami termotivasi karena susahnya mata pencaharian masyarakat Konawe Kepulauan sehingga kami cari cara bagaimana caranya agar masyarakat ini punya penghasilan tambahan dari rumah batik ini," ujar Syalisatul kepada detikcom beberapa waktu lalu.

Berbeda dari batik-batik di Pulau Jawa, Syalisatul mengembangkan mengembangkan batik di Wawonii dengan budaya setempat. Adapun salah satu motif yang terinspirasi dari budaya setempat yakni, motif pohon kelapa.

Wawonii memang dikenal sebagai surganya pohon kelapa. Bahkan di Wawonii, pohon kelapa dijadikan sebagai mahar dalam upacara perkawinan.

"Motifnya itu kami masih terbatas karena kami pasarnya kan masih lokal. Dan itu berbatas sampai budaya lokal," katanya.

"Untuk motif saat ini filosofinya memang mengangkat daerah kami yang alamnya pulau kelapa dan biota laut. Daerah kami itu terdiri dari laut dan darat, jadi masih ada karakter daerah," lanjutnya.

Meski demikian, perjuangannya Syalisatul memperkenalkan batik ke masyarakat tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, tak sedikit masyarakat berpikir batik merupakan budaya khas Jawa.

"Mulanya tidak semudah itu untuk menunjukkan bahwa batik ini bisa menambah penghasilan. Karena masyarakat Konawe Kepulauan itu kan berpikiran bahwa batik tulis ini hanya bisa diproduksi di daerah Jawa," jelasnya.

Tak hanya itu, Syalisatul mengungkapkan minat masyarakat di Wawonii untuk belajar batik pun masih sangat rendah. Namun, hal ini tak membuatnya putus asa. Bahkan, ia rela memberi upah kepada masyarakat yang ingin belajar membatik.

"Pertama, saya satu orang saya ajarin, bahkan saya gaji. Pada waktu belajar itu kami gaji selama beberapa bulan. Alhamdulillah, setelah mendapat hasil, barulah masyarakat yang lain timbul minat untuk belajar.

"Jadi satu lembar kami bayar pada waktu itu masih Rp40.000. Jadi satu lembar kain itu kami bayar untuk proses pencantingan Rp40.000. Padahal, harga kain pada waktu itu kami jual masih Rp170.000. Jadi nanti proses pewarnaan, kami gaji lagi. Itu masih proses belajar," sambungnya.

Namun, perjuangan Syalisatul tak sia-sia. Usaha batiknya bahkan mendapat perhatian dari Ketua Dekranasda Kabupaten Konawe Kepulauan. Rumah batik yang sebelumnya berada di Desa Butuea kini dipindahkan ke wilayah kota.

"Alhamdulillah, Ketua Dekranasda Kabupaten Konawe Kepulauan berinisiatif kami dibawa ke kota kabupaten. Di situlah minat belajar masyarakat itu bertambah. Terutama yang saat ini masih tetap eksis belajar, yaitu dari Desa Wawo Indah dan Desa Mekarsari," katanya.

Tak hanya itu, penjualan batik Syalisatul juga meningkat. Dalam satu bulan, Syalisatul pun bisa meraup omzet hingga Rp 10 jutaan.

"Satu minggu, bisa enam lembar karena kan terbatasnya tenaga kerja. Kalau harga untuk yang motif kelapa Rp250.000 per lembar. Kalau yang motif ikan, harganya itu Rp350.000 per lembar karena pengerjaannya sekitar satu lembar bisa sampai tiga hari. Untuk omzet kurang lebih Rp10 jutaan per bulan," paparnya.

Dalam memasarkan batiknya, Syalisatul mengatakan kerap memanfaatkan media sosial seperti WhatsApp. Ia mengaku kerap memanfaatkan akses internet yang dihadirkan BAKTI Komdigi saat berada di desanya.

"Alhamdulillah, dengan adanya internet, kami sangat terbantu. Kalau di kampung itu kan ada BAKTI Aksi. Kalau internet data dari telepon seluler itu susah, jaringan tidak ada. Untungnya gubuk kami yang di kampung itu dekat dengan balai desa. Jadi kami kena dampaknya BAKTI Aksi sehingga kami bisa mengupload batik di Facebook, di WhatsApp," pungkasnya.

detikcom bersama BAKTI Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengadakan program Tapal Batas untuk mengulas perkembangan ekonomi, wisata, infrastruktur, dan pemerataan akses internet di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Ikuti terus berita informatif, inspiratif, unik dan menarik dari program Tapal Batas di tapalbatas.detik.com!

Sumber