Perayaan Natal yang Sunyi di Bethlehem Saat Perang Gaza Belum Berakhir
Kota kelahiran Yesus, Bethlehem, selalu menjadi pusat perayaan Natal. Namun dua tahun terakhir, penduduk kota kecil di Tepi Barat ini tak merasakan semangat Natal akibat perang berkepanjangan di Gaza.
Tidak banyak orang mengunjungi Bethlehem pada jam-jam yang biasanya sibuk dengan perayaan Natal. Dekorasi yang biasanya membuat jalanan semarak juga tidak terlihat.
Pohon Natal raksasa yang biasanya berdiri tegak di depan Gereja Kelahiran yang dibangun persis di tempat kelahiran Yesus, menurut keyakinan umat Kristen.
Ini adalah kali kedua Bethlehem tak merayakan suka cita hari kelahiran Yesus sejak perang di Gaza dimulai Oktober 2023 silam.
Umat Kristen Palestina hanya menghadiri ibadah dan acara-acara keluarga.
"Seharusnya ini menjadi momen kebahagiaan dan selebrasi," ujar pendeta Lutheran setempat, Munther Isaac.
"Namun, Bethlehem adalah kota yang berduka dan bersolidaritas dengan saudara-saudara kami di Gaza."
Palungan yang dipasang di Gereja Evangelis Lutheran tempat Isaac mengabdi kembali memperlihatkan bayi Yesus di tengah reruntuhan.
Ibadah menjelang Natal juga difokuskan ke situasi bencana di Gaza.
Pendeta Munther Isaac menyalakan lilin di dekat instalasi yang memperlihatkan sosok melambangkan bayi Yesus tergeletak di tengah reruntuhan gua menjelang Natal di Gereja Evangelis Lutheran, di Bethlehem di Tepi Barat yang diduduki Israel 25 November 2024 (Reuters)
"Sulit dipercaya Natal telah tiba lagi dan genosida belum berhenti," ujar Isaac dalam khotbahnya.
"Para pembuat kebijakan membiarkan ini semua terjadi. Bagi mereka, Palestina tidak ada nilainya."
Israel berkeras menyangkal genosida di Gaza. Para hakim di pengadilan tinggi PBB masih belum mengeluarkan putusan atas tudingan genosida yang diajukan Afrika Selatan.
Penderitaan warga Palestina tercermin dari sebuah palungan yang dipasang di Gereja Kelahiran, Bethlehem, pada perayaan Natal 2023 silam (Getty Images)
Banyak umat Kristen di Bethlehem merasa putus asa. Mereka berpendapat komunitas Kristen di seluruh dunia gagal untuk angkat bicara.
Komunitas Kristen Palestina yang jumlahnya kecil memiliki ikatan yang erat antar satu sama lain.
Ini artinya banyak warga Tepi Barat yang memiliki sanak saudara dan teman-teman di Gaza.
"Ibu saya bilang apa yang kita lihat di televisi bahkan tidak menangkap satu persen dari apa yang sebenarnya terjadi," ujar pakar teologi, Dr Yousef Khouri, yang berasal dari Kota Gaza.
BBC
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
BBC
Kedua orang tua Khouri dan adik perempuannya masih ada di Gaza.
Mereka dan ratusan umat Kristen lainnya mencari perlindungan di dua gereja Gaza selama 14 bulan terakhir.
"Seperti penduduk Gaza umumnya, mereka juga dibuat kelaparan. Mereka juga nyaris tidak tidur akibat bombardir."
"Drone-drone ada di atas mereka setiap saat dan layanan medis begitu minim," imbuhnya.
"Kami kehilangan begitu banyak sahabat dan sanak saudara."
Di Gaza, lebih dari 45.000 orang tewas akibat perang berkepanjangan setelah kelompok milisi Hamas menyerang Israel bagian selatan (Getty Images)
Kendati jumlah korban jiwa ini bersumber dari data kementerian kesehatan Hamas, PBB dan pihak-pihak lain menilai data ini dapat dipercaya.
Serangan 7 Oktober 2023 menewaskan sekitar 1.200 orang, baik warga Israel maupun warga asing. Sementara 250 orang lainnya menjadi sandera Hamas.
Sejalan dengan perang di Gaza, ketegangan pun meningkat di Tepi Barat.
Israel mengeluarkan pembatasan-pembatasan baru terhadap pergerakan orang-orang Palestina.
Israel juga membatalkan puluhan ribu izin para pekerja yang biasanya menyeberang ke Yerusalem atau kawasan pendudukan Yahudi setiap harinya.
Perekonomian pun berada dalam keadaan sulit, khususnya di Bethlehem yang bergantung pada wisatawan.
Sektor pariwisata hampir seluruhnya mati. Para pemandu hanya bisa termangu di Gereja Kelahiran atau memberi makan burung-burung dara.
"Kalau ada wisatawan, semua orang akan bekerja baik itu di perhotelan, transportasi, akomodasi, dan lain-lain," ujar Abdullah, salah satu pemandu wisata.
"Begitu turis tidak ada, maka Bethlehem pun kehilangan nyawa."
"Saya bangkrut! Tidak ada bisnis! Lebih dari satu tahun kami tinggal di rumah," ujar Adnan Subah, penjual cinderamata di Jalan Bintang.
"Anak laki-laki saya bekerja sebagai pemandu wisata di gereja. Tapi sekarang dia dan semua anak saya diam di rumah. Tidak ada pekerjaan, bisnis, dan turis."
Banyak dari keluarga Kristen dan Muslim yang bermigrasi dalam satu tahun terakhir.
Penduduk Palestina khawatir akan masa depan mereka di tengah ancaman kekerasan yang tiada hentinya.
Selain itu, perluasan permukiman terus menerus terjadi di tempat-tempat dimana warga Palestina telah lama mengupayakan sebuah negara merdeka.
Namun suatu komunitas di Bethlehem, Palestine Lions Club, berusaha membuat perbedaan mengemas makanan bagi yang membutuhkan.
Tidak ada bantuan pemerintah di sini. Para relawan mengumpulkan sumbangan secara mandiri, termasuk dari para diaspora.
"Natal menyerukan semangat memberi, kasih sayang, dan sukacita," ujar Wael Shaer, kepala Palestine Lions Club.
"Kami berharap paket-paket ini bisa memberikan sedikit harapan dan sukacita kepada keluarga-keluarga di daerah kami."
Wael mengirim bingkisan pertama untuk seorang perempuan yang tinggal di apartemen terdekat.
Suaminya sakit dan kehilangan pekerjaan.
Dengan penuh rasa terima kasih, perempuan itu membuka parsel yang diberikan kepadanya. Dia juga menerima amplop berisi uang tunai.
Dia dan Wael saling bertukar ucapan selamat hari Natal dan harapan tahun depan yang damai.
"Misi tercapai!" kata Wael.
"Menebarkan sedikit keceriaan pada Natal."
Yolande Knell melaporkan dari Bethlehem
Simak juga Video ‘Serangan Udara Israel Tewaskan 5 Warga Palestina di Gaza’
[Gambas Video 20detik]