Perempuan Ada di Garis Depan Protes Darurat Militer Korsel
Saat pengunjuk rasa berhadapan dengan tentara bersenjata di luar Majelis Nasional Korea Selatan pada malam tanggal 3 Desember, terlihat jelas bahwa sesuatu yang tidak terduga sedang terjadi. Tak lama setelah Presiden Yoon Suk Yeol muncul di televisi untuk mengumumkan darurat militer, warga mulai berdatangan memprotes langkah itu. Ada yang berbeda dalam perlawanan warga kali ini.
Massa kelihatan bergerak menyanyikan lagu-lagu K-pop favorit sepanjang malam. Mereka terus bernyanyi sampai pagi sambil mengangkat plakat protes terhadap Yoon dan deklarasi darurat militer. Di garis depan protes ada banyak perempuan.
Beberapa perkiraan media menunjukkan sekitar 40 persen demonstran adalah perempuan dalam kelompok usia dari belasan hingga 40-an. Analis mengatakan, generasi perempuan baru ini mungkin siap untuk memainkan peran yang lebih besar dalam menetapkan agenda dan haluan negara.
"Perempuan secara historis merupakan orang luar dalam wacana politik," kata Hyobin Lee, profesor politik dan etika di Universitas Nasional Chungnam.
"Proporsi politisi perempuan di Korea Selatan sangat rendah, dengan hanya 17,1% anggota Majelis Nasional adalah perempuan."
"Hal ini mencerminkan pengucilan perempuan yang mengakar kuat dalam politik," katanya kepada DW. "Bahkan ada pepatah Korea kuno, ‘Jika ayam berkokok, rumah tangga akan runtuh,’ yang menyiratkan bahwa perempuan tidak boleh menyuarakan pendapat dalam masalah politik."
Kaum pria berusia 20-an dan 30-an selama ini yang mendorong kemenangan presiden Yoon Suk Yeol pada bulan Mei 2022. Selama kampanye pemilu presiden, Yoon menentang apa yang disebutnya "gelombang feminisme" dan berjanji untuk menghapus Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga. Setelah terpilih, Yoon segera menghapus kuota gender.
"Ada kesenjangan gender yang jelas ketika Yoon terpilih dan saya pikir kesenjangan itu masih ada sekarang," kata seorang akademisi perempuan di Seoul, yang meminta namanya tidak disebutkan karena adanya sikap permusuhan yang ditujukan kepada beberapa perempuan yang telah berbicara tentang masalah tersebut.
"Karena kebijakannya, banyak perempuan — terutama perempuan muda — tidak mendukung Yoon dalam pemilihan presiden. Memang ada ketidaksukaan, ada jurang pemisah antara laki-laki dan perempuan dalam kelompok usia ini selama beberapa tahun," katanya kepada DW.
"Secara budaya laki-laki lebih aktif [di depan publik] dalam masyarakat Korea Selatan dan harus bersaing dengan laki-laki lain untuk mendapatkan pekerjaan. Tetapi sekarang, lebih banyak perempuan yang memasuki dunia kerja, akibatnya persaingan itu menjadi lebih ketat," katanya.
"Banyak laki-laki juga kesal karena mereka harus berdinas wajib militer, sementara perempuan tidak harus melakukannya."
Profesor Hyobin Lee meyakini, generasi baru perempuan Korea Selatan punya rasa percaya diri lebih besar, dan mereka tidak akan mau kembali ke situasi masa lalu.
"Generasi ini belum pernah mengalami protes seperti yang terjadi pada tahun 1980-an," katanya.
"Bagi generasi ini, protes adalah hal baru, dan mereka mulai menerimanya sebagai cara untuk mengekspresikan suara mereka," kata Lee.
"Itu menjadi alat untuk mengekspresikan diri."
Dia yakin perubahan itu akan bertahan lama. "Perempuan sejak dulu mungkin tidak berada di garis depan kegiatan politik atau sosial, tapi mereka selalu bekerja tanpa lelah untuk masyarakat dan negara dari balik layar," katanya.
"Namun, generasi muda berbeda. Mereka tumbuh tanpa mengalami diskriminasi gender yang nyata dan terbiasa mengekspresikan diri. Jika generasi ini terus tumbuh dan menegaskan suara mereka, saya yakin ada potensi yang signifikan untuk partisipasi dan representasi perempuan yang lebih besar."
Diadaptasi dari artikel DW bahasa Inggris
Lihat juga Video ‘Presiden Yoon Dimakzulkan, Pemimpin Partai Berkuasa Korsel Mundur’
[Gambas Video 20detik]