Perempuan di Pilkada, Kekuatan Kekerabatan atau Kemampuan Sendiri?

Perempuan di Pilkada, Kekuatan Kekerabatan atau Kemampuan Sendiri?

SEMARANG, KOMPAS.com – Pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip), Puji Astuti mengatakan, banyak calon kepala daerah perempuan yang berpartisipasi dalam Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) memiliki privilese atau hak istimewa yang berasal dari kekerabatan.

Menurutnya, sejumlah politisi perempuan sering kali berhasil meraih posisi melalui dinasti politik.

Puji mencontohkan situasi di Jawa Tengah, di mana petahana Bupati Demak, Eisti’anah, kembali mencalonkan diri dalam Pilkada Bupati Demak 2024.

Ia menilai keberhasilan Eisti’anah dalam menjabat sebagai Bupati tidak terlepas dari dukungan keluarganya yang memiliki jaringan besar di dunia politik.

“Misalnya di Demak ya, itu kan incumbent. Dulu dia (Eisti’anah) maju karena siapa? Kan ayahnya. Hampir semua perempuan yang masuk di Pilkada, baik itu calon bupati atau calon wakil bupati, pasti dikasih karpet merah oleh orang tua, suami, atau saudara laki-laki yang punya pengaruh dalam politik,” ujar Puji saat diwawancarai, Senin (4/11/2024).

Puji menambahkan bahwa tidak mudah bagi perempuan untuk membangun karier yang cemerlang di dunia politik Indonesia tanpa adanya dukungan dari kerabat laki-laki.

“Sedikit sekali yang memang tidak punya latar belakang seperti itu. Memang ada politik kekerabatan,” lanjutnya.

Selain menyoroti Pilkada 2024, Puji juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap minimnya partisipasi perempuan dalam pemilu legislatif (Pileg) 2024.

Meskipun syarat 30 persen pencalonan untuk perempuan telah terpenuhi, jumlah calon legislatif (caleg) perempuan yang terpilih masih kurang dari 30 persen, sehingga tidak memenuhi kuota kursi legislatif bagi perempuan.

“30 persen itu kita masih jauh banget, masih sulit. Karena apa? Mahal, yang kemarin paling kecil butuh Rp5 Miliar untuk di pusat [DPR RI]. Kalau sebagai calon, itu partisipasi perempuan memang sudah 37,7 persen, tapi terpilihnya baru sekitar 22,24 persen atau 129 dari 580. Itu masih jauh, padahal kita sudah lima kali Pemilu,” bebernya.

Puji berharap agar partai politik (parpol) memiliki standardisasi dalam merekrut anggotanya dengan mengedepankan kualitas.

Ia menekankan pentingnya tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan yang bergabung tanpa dukungan dari laki-laki.

“Parpol harus punya metode kualifikasi dalam merekrut pencalonan. Orang yang dicalonkan harusnya ada standardisasi yang bisa diakses oleh siapapun. Dia punya pengalaman politik, sudah jadi bagian dari partai, orang kan jadi bisa ngukur,” tandasnya.

Sumber