Perjuangan Nuryati: Dari TKI Jadi Dosen Hukum dan Raih Gelar S3
BOGOR, KOMPAS.com – Di tengah krisis ekonomi Indonesia pada 1998, seorang gadis muda asal Serang, Nuryati Solapari (45), memilih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) demi meraih cita-cita pendidikan tinggi.
Meski memiliki prestasi akademik yang gemilang sebagai lulusan terbaik SMA Prisma Kota Serang, keterbatasan ekonomi membuatnya tak mampu melanjutkan kuliah.
“Ketika teman-teman yang mohon maaf rankingnya di bawah saya, mereka euforia bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi, saya cuma bisa nangis, merana lah intinya, menyalahkan keadaan,” ujar Nuryati saat berbincang dengan Kompas.com, Kamis (6/12/2024).
Ide untuk menjadi TKI muncul ketika Nuryati mengunjungi rumah neneknya di Serang dan melihat tetangganya yang baru pulang dari Arab Saudi membawa uang banyak.
Bertekad untuk mengubah nasib, ia membujuk orangtuanya di Cilegon untuk mengizinkannya bekerja di luar negeri. Meskipun sempat mendapat penolakan dari keluarga besar, Nuryati tetap bertekad kuat.
Langkah pertama Nuryati menuju Arab Saudi dimulai di penampungan TKI di Tapos, Kabupaten Bogor. Di sana, ia menghadapi kenyataan pahit, mulai dari tidur di depan toilet karena tempat yang membludak, makan seadanya, hingga dicemooh karena membawa buku.
“Waktu itu saya bawa kardus mi instan yang isinya buku-buku pelajaran dan kamus bahasa Arab. Saya sempat dikatain, ‘Mau jadi pembantu aja bawa buku segitu banyak’. Tapi saya enggak peduli, saya tetap belajar,” kenang Nuryati.
Setelah melalui proses yang panjang, Nuryati akhirnya mendapatkan majikan pasangan dokter di Tabuk, Arab Saudi, yang memiliki dua anak.
Sikap rajinnya belajar menarik perhatian majikannya, yang kemudian mendukung keinginan Nuryati untuk melanjutkan pendidikan.
“Majikan saya bahkan memberikan hadiah umrah setelah satu bulan bekerja. Ketika ditanya apa doa saya, saya bilang ingin kuliah. Mereka sampai heran, biasanya orang kerja untuk bayar utang atau beli tanah, tapi saya ingin sekolah,” ujar Nuryati.
Selama bekerja, Nuryati memanfaatkan waktu istirahat untuk belajar dengan buku-buku yang dibawanya dari Indonesia. Selain bekerja sebagai pengasuh anak, ia juga mengajar senam untuk menambah penghasilan.
Majikan Nuryati sempat menawari hadiah rumah dan naik haji untuk orangtuanya jika ia bersedia tinggal lebih lama. Namun, setelah melihat prosesi wisuda di televisi, Nuryati memutuskan untuk pulang dan melanjutkan kuliah.
“Saya peluk TV itu sambil menangis. Saya bilang ke majikan, saya ingin pulang dan kuliah. Mereka memahami keputusan saya, meski sebelumnya mereka sempat menawarkan rumah sakit dan hotel di Indonesia untuk saya kelola,” kenang Nuryati.
Pada tahun 2000, Nuryati kembali ke Indonesia dengan uang hasil bekerja selama dua tahun. Sebagian uang tersebut diberikan kepada orangtuanya, sementara sisanya digunakan untuk mendaftar kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang.
Setelah lulus, Nuryati melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 di Universitas Jayabaya, Jakarta.
Pada tahun 2011, Nuryati melanjutkan pendidikan S-3 di Universitas Padjajaran Bandung dan lulus pada tahun 2016. Selain menjadi dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, ia juga pernah menjabat sebagai Komisioner Bawaslu Banten pada periode 2016-2021.
“Saya lulus S3 2016, terus pernah jadi Komisioner Bawaslu Banten, tetapi hanya satu periode karena tidak mendaftar lagi. Akhirnya dari tahun 2005 sampai sekarang saya jadi dosen,” kata Nuryati.