Perlukah Anak TK Diajari Matematika?

Perlukah Anak TK Diajari Matematika?

Berita ini tersebar luas dan cukup viral. Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa pelajaran matematika akan diberikan sejak Taman Kanak-Kanak (TK). Pernyataan seperti ini oleh seorang menteri memiliki implikasi besar bagi pendidikan anak-anak kita, khususnya yang sedang berada di jenjang pendidikan usia dini.

Anda harus ingat bahwa setiap orang terlahir berbeda, dan pendidikan tidak seharusnya memaksa orang untuk berkembang satu arah. Apalagi ada pikiran bahwa pelajaran matematika akan mengatasi segala persoalan kelemahan SDM kita. Membuat pernyataan seperti berpeluang ditafsirkan salah oleh para guru di jenjang pendidikan anak usia dini. Kok bisa?

Anda bayangkan bagaimana tingkat pemahaman guru TK tentang matematika. Belum lagi cara mengajarkannya. Saya menduga akan terjadi jalan pintas yang justru dapat membahayakan perkembangan kognitif anak. Faktanya, jangankan guru TK; guru SD, SMP dan SMA saja banyak yang mengajarkan matematika dengan cara yang salah, yang menyebabkan anak-anak terjebak dalam pelajaran yang cenderung abstrak, menguras emosi, dan menimbulkan fobia (rasa takut berlebihan).

Matematika sering ditafsirkan sebagai alat untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Dengan beban kurikulum yang berat, cara yang paling mudah dan aman bagi guru adalah menjelaskan rumus, kemudian memberikan contoh soal untuk diselesaikan bersama, ditutup dengan latihan, lalu guru memberikan PR (soal-soal biasanya diambil dari buku teks).

Anda boleh amati kelas-kelas matematika di setiap jenjang pendidikan, alurnya kurang lebih seperti itu. Hasil yang didapat dari model pembelajaran begini adalah anak-anak yang hanya bisa membebek. Mereka menyelesaikan soal dengan prosedur seperti yang dicontohkan gurunya.

Anak-anak bukan semakin pintar matematika, tetapi justru semakin bingung. Ini terjadi karena memang otaknya tidak jalan. Anak-anak tidak dilatih untuk bernalar secara benar. Seharusnya, mengajarkan matematika adalah dengan kesadaran bahwa matematika itu adalah sebuah sistem berpikir.

Mendidik Sesuai Potensi

Dalam uraian di atas sudah saya singgung, setiap anak terlahir berbeda. Ada anak yang berbakat logika/matematika, ada yang punya talenta dalam olahraga (kinestetik), ada yang punya potensi dalam bidang seni, ada yang berbakat dalam bahasa, ada yang berbakat intrapersonal, ada yang punya kemampuan negosiasi (berkomunikasi dengan orang lain), dan ada yang memiliki bakat spasial (keruangan).

Nah, setiap potensi tersebut akan berkembang pada usia dini, yaitu antara 0 sampai 10 tahun. Kesempatannya sangat sempit; setelah usia tersebut anak tidak bisa berkembang mencapai potensi optimal. Oleh karena itu, mendidik anak sesuai dengan potensinya pada kesempatan yang sempit tersebut harus menjadi perhatian serius. Inilah yang disebut jendela kesempatan (windows of opportunity).

Pemahaman tentang jendela kesempatan akan membantu kita dalam pendidikan, terutama dalam mempersiapkan manusia yang unggul. Misalnya, mempersiapkan calon atlet untuk cabang olahraga tertentu, kita perlu melihat bakatnya sejak usia dini, kemudian melatihnya sejak usia dini pula sampai dengan usia 8 tahun. Setelah usia 8 tahun jendela kesempatannya akan mengecil, sehingga tingkat keterampilan gerak yang dicapai juga tidak terlalu tinggi.

Kemampuan memainkan alat musik mulai berkembang pada usia 3 tahun, dan akan berkurang setelah usia 10 tahun. Kemampuan berbahasa mulai tumbuh sejak usia beberapa bulan setelah kelahiran, kemudian akan menurun setelah mencapai usia 6 tahun. Kemampuan matematika dan logika berkembang sejak kelahiran dan mulai berkurang pada usia 4 tahun.

Tidak Perlu

Jadi, anak TK tidak perlu diajarkan matematika secara khusus. Salah mengajarkannya justru akan membuat otak anak jadi cedera. Kita tidak ingin terperosok ke dalam lubang yang sama karena salah mengambil kebijakan. Lebih baik anak-anak TK bermain saja. Berilah permainan edukatif. Guru-guru TK diberi pelatihan tentang bagaimana mengembangkan permainan edukatif yang dilengkapi dengan media dan alat peraga yang sesuai dengan perkembangan kognitif anak.

Basis permainannya bukan subjek, tetapi tema dengan muatan yang beragam, apakah sains, bahasa, matematika, musik, olah gerak, drama, dan lain-lain. Dengan cara seperti itu anak-anak akan berkembang sesuai dengan bakatnya. Toh, tidak semua harus jadi ahli matematika. Ada yang jadi guru/dosen, presenter, desainer, programmer, pencipta lagu, penyanyi, musikus, penerjemah, atlet, politikus, peneliti (saintis), pengusaha, content creator, youtuber, dan lain-lain. Bangsa ini perlu SDM unggul, yaitu mereka yang kreatif, mampu berpikir kritis, inovatif, dan inventif dengan keahlian yang beragam.

Sutarto Hadi profesor dalam bidang Pendidikan Matematika; alumni Universitas Twente, Belanda

Tonton juga video Mendikdasmen soal Pelajaran Matematika Sejak TK Mengenalkan Saja

[Gambas Video 20detik]

Sumber